Druze

Oleh Dahlan Iskan

Druze
Dahlan Iskan di pusat Druze di Moukhtara, Lebabon. Foto: disway

Kami tidak mau makan bulgur pembagian itu. Kami pilih makan ganyong. Umbi-umbian yang batang dan umbinya mirip lengkuas.

Atau umbi lain. Yang masaknya sangat sulit: agar tidak gatal di lidah. Saya lupa namanya. Please.

Mencari umbi tersebut juga sulit. Saya harus ke bawah-bawah rimbunan bambu liar. Menggali-nggali tanah di situ. Kadang dapat. Kadang tidak.

Itulah zaman susah. Dulu.

Kini saya juga lapar. Saat tiba di istana Druze ini. Berangkat dari Beirut tadi saya tidak makan pagi. Hanya makan buah srikaya. Yang banyak sekali di Beirut. Dan enak sekali rasanya. Dan murah sekali harganya.

“Siapa yang masak bulgur ini?” tanya saya ke Druze tua itu.

“Hia,” jawabnya. Sambil menunjuk istrinya. ‘Hia’ adalah bahasa Arab untuk ‘dia’.

Sedang ‘hua’ bahasa Arab untuk ‘ia’.

Dia Islam. Dia bukan Islam. Dia bukan Islam tapi Islam. Dia Islam tapi bukan Islam. Dia Druze. Jumlah umatnya sekitar 1 juta di Lebanon. Atau 5 persen penduduk.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News