Dua Jam Jalan Kaki atau Tinggal di Pondokan Darurat

Dua Jam Jalan Kaki atau Tinggal di Pondokan Darurat
Dua Jam Jalan Kaki atau Tinggal di Pondokan Darurat
 

Namun, ada juga anak yang terlambat mendapatkan kiriman bahan makanan. Rata-rata mereka adalah anak dari pulau yang jauh. Terkadang, hambatan para orang tua mengirimkan bahan makanan adalah ombak besar yang berlangsung tanpa henti. Mereka takut menyeberang karena tak memiliki kapal yang memadai.

 

Arsenius menuturkan, jika sudah seperti itu, rata-rata anak-anak memilih untuk bekerja. Mereka bekerja apa saja. Misalnya, membantu warga melaut atau membantu orang-orang mengangkat barang di pelabuhan. "Jika beruntung, mereka mendapatkan bantuan sejumlah makanan dari pemilik tanah tempat pondokan," ujarnya.

 

Risiko menjadi anak pondokan tidak cukup di situ saja. Menurut Arsenius, suasana belajar menjadi sangat terbatas. Memasuki malam, pondokan mereka gelap gulita. Semua pondokan tidak dialiri satu watt pun listrik. Itulah sebabnya, anak-anak pondokan harus memiliki inisiatif jika ingin sungguh-sungguh belajar. "Kalau yang niat belajar, mereka membeli lampu tempel buat penerangan atau menumpang di teman yang punya rumah. Setiap rumah sudah ada listrik," tuturnya.

 

Rata-rata yang memiliki pondokan adalah siswa yang sudah menginjak SMP dan SMA. Mereka yang masih duduk di bangku SD biasanya dititipkan di sekolah masing-masing. Seperti halnya di sebuah SD di Sikakap. SD itu menyediakan ruang bekas kepala sekolah sebagai tempat tinggal anak-anak pondokan dari SD. Sama dengan yang senior, mereka yang masih belia itu juga harus belajar mandiri.

Fasilitas pendidikan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih jauh dari layak. Murid-murid yang ingin melanjutkan ke SMP harus rela berpisah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News