Dua Programer Musik Bandung Mengeruk Untung lewat Software

Tak Sangka Yang Beli Musisi-Musisi Top Dunia

Dua Programer Musik Bandung Mengeruk Untung lewat Software
DUA SEKAWAN: Grahadea Kusuf (kiri) dan Arie Ardiansyah. Foto: Diar Candra/Jawa Pos

’’Kami juga kaget begitu pasar merespons dengan luar biasa. Penjualan Amplifikation Crème laku keras. Dilepas akhir 2010, pada 2012 kami hitung sudah seribu orang yang beli,” tutur Dea yang banyak mengurus visual software sekaligus proses transaksinya.

Peraih gelar master bisnis administrasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, pasca kesuksesan Amplifikation Crème, penjualan produk lainnya ikut membaik. Setelah Amplifikation Crème, mereka membuat Amplifikation Vermilion, Cerberus Bass Amplifikation, Eve AtSeries Equalizer, dan Kratos Maximizer. Software yang terakhir itu tercatat merupakan produk Kuassa dengan harga paling mahal, yakni 69,95 USD atau Rp 853 ribu.

Berdasar catatan hingga Oktober lalu, enam software produk Kuassa tersebut sudah dibeli 7 ribu orang. Pemasukan Kuassa pun meningkat tajam. Yang awalnya, saat launching, hanya Rp 50 juta, kini sudah lebih dari Rp 1 miliar. Pembelinya kebanyakan dari Amerika Serikat (35 persen); disusul Inggris dan Jerman, masing-masing 12 persen; Prancis (7 persen); Kanada (5 persen); Australia (4 persen); dan Jepang (3 persen).

Hebatnya, dari para pembeli tersebut, terdapat beberapa nama besar. Misalnya, musisi dari Jepang Masahiro Aoki. Aoki adalah komposer musik video game untuk perusahaan-perusahaan di Negeri Sakura. Salah satunya Capcom.  Dari Amerika ada nama Dieter Hartmann, komposer musik untuk film-film Hollywood. Di antaranya, film Butterlfly Effect, Ghost Rider: The Spirit of Vengeance, End of Watch, Watchmen, dan The Guardians of The Galaxy.

’’Kami nggak sangka kalau pembelinya orang-orang top. Jelas, kami bangga banget ternyata ada produk Indonesia yang disukai orang-orang profesional di Jepang dan Hollywood,” ucap Dea.

Yang mengejutkan, pembeli dari Indonesia justru amat sedikit. Dari 7 ribu pembeli software Kuassa, hanya tujuh orang yang dari tanah air sendiri. ’’Itu angka resmi dari penjualan lho. Nggak tahu kalau dibajak. Karena pernah ada laporan teman kalau software Kuassa ada di lapak-lapak penjual software bajakan. Tapi, mau bagaimana lagi, iklim bisnis di Indonesia masih seperti itu,” ujar Dea.  

Ke depan Dea dan Arie berusaha mengembangkan bisnis mereka. Yang terdekat, mereka akan membuat software versi mobile. Mereka ingin software karya mereka ada di Google Playstore atau Applestore. ’’Mudah-mudahan segera terwujud. Ini target kami tahun depan,’’ tandas Dea.

Sementara itu, salah satu pengguna software Kuassa, musisi Hogi Wirjono, mengaku cukup puas memakai Kratos Maximizer dan Eve At Series Equalizer selama dua tahun terakhir. Menurut personel band Agrikulture itu, software produksi Kuassa tersebut sangat membantu dalam proses bermusik. Utamanya ketika proses mastering dan recording.

Butuh dana ratusan juta untuk memiliki sebuah studio rekaman. Dari fakta itulah, dua programer musik asal Bandung sukses mengkreasi software yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News