Dua Tangis dan Ribuan Tawa
Oleh: Dahlan Iskan (CEO PLN)
Sabtu, 17 Juli 2010 – 01:01 WIB
Betapa relatifnya jiwa...
Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di kursi direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak pernah membaca surat masuk.
Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas menjawabnya?
Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus saya tulis di situ" Saran" Pendapat" Instruksi" Larangan" Harapan" Atau, beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi "sekadar untuk menunjukkan bahwa saya atasan mereka?
Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat jarang saja. Mengapa saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya saya yang tahu persoalan itu" Mengapa saya harus memberikan instruksi seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat" Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu pabrik petunjuk?