Dulu Keliling Diskotek Buru Mahasiswi Bispak
Tasmi tak sembarangan pilih tubuh yang siap dipajang. Selain bodinya harus seksi, wajah juga tak boleh asal-asalan. Tak harus cantik, tapi minimal parasnya cover face. ”Maklum kami ini jualan foto. Bisa dibilang 80 persen isinya kan foto, jadi tulisan hanya pelengkap. Itupun harus nyerempet ke hal yang ngeres-ngeres,” katanya.
Enam tahun sebagai pimpinan redaksi Lipstik, nama tabloid itu, Tasmi paham benar industri media pornografi. ”Saya inginnya perfeksionis. Jadi saya tak hanya di belakang meja. Fotografert motret saya temani, cari kolam renang untuk latar foto saya juga yang deal. Bahkan, cari bikini dan lingerie (pakaian dalam) saya yang pilihkan,” katanya.
Agar tabloidnya laku keras, Tasmi dan timnya butuh waktu satu bulan mengendus seorang calon model. Untuk keperluan lobi, mereka harus rajin keluar masuk kafe, diskotek, dan tempat-tempat pijat. ”Kalau sudah tercebur di dunia ini pasti kena gandengannya, ya ikut dugem, narkoba, dan seterusnya,” ujarnya lalu tersenyum.
Wanita lajang yang kini memasuki usia kepala tiga tercebur ke tabloid esek-esek ini secara tak sengaja. Dia mengawali karir jurnalistiknya sebagai reporter berita kriminal di sebuah tabloid di Surabaya. Sekitar delapan tahun lalu dia dipindahkan ke Jakarta. Saat di ibu kota itulah, ada tawaran dari seorang teman untuk memegang sebuah tabloid biro jodoh. ”Tak tahunya tabloid esek-esek. Tapi karena godaan materi saya mau saja,” kata wanita kelahiran Pulau Sambu, Kepulauan Riau itu.
Omzet tabloid Lipstik lumayan besar. Dalam tiga minggu, pendapatan iklan bisa Rp 60 juta dari pemasang iklan. Belum lagi penjualan sekitar 40 ribu eksemplar per minggu tabloidnya. Sebuah pendaptan yang lumayan untuk usaha yang hanya dikelola belasan orang.
Distribusinya pun lumayan luas. Beberapa edisi tabloid kadang sampai ke pembaca di Papua, bahkan ke Malaysia untuk menyapa para pekerja migran asal Indonesia. ”Kami bisa memberi bonus, THR 150 persen, bonus tahun baru, pokoknya gede lah,” katanya.
Apalagi, model-model Lipstik tak semuanya minta bayaran mahal. ”Ada yang Rp 400 ribu sekali pemotretan. Sekali itu artinya bisa ratusan frame, terserah fotografernya,” katanya.
Begitu fotonya tampil, para model bispak tersebut umumnya juga memborong tabloid edisi tersebut. ”Mereka bawa ke kafe-kefe sebagai bahan jualan. Ibaratnya jadi ratu semalam. Laki-laki hidung belang pasti penasaran ingin membuktikan, sama enggak foto dengan aslinya,” kata Tasmi. Apalagi,di samping foto ditulis hasil wawancara dengan model bertopik seputar ranjang dan seksualitas.
Bisnis pornografi tak pernah mati. Itulah keyakinan Tasmi Soeryotirto, mantan pimpinan tabloid “panas” yang bertobat. Selain menerbitkan
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408