Dulu Seteru, Kini Sekutu: Drama Politik Indonesia Menjelang Pemilu

Dulu Seteru, Kini Sekutu: Drama Politik Indonesia Menjelang Pemilu
Prabowo Subianto dan Budiman Sudjatmiko berpelukan saat deklarasi relawan Prabu Bersatu di Semarang (18/08). (Foto: Facebook/ Prabowo Subianto)

"Ideologi sosialis, misalnya, kan kalau di-translate kebijakan ekonominya sosialis, seperti pajak yang besar, punya program-program yang sifatnya universal coverage ... sementara ideologi konservatif capitalism, mereka akan dorong kebijakan yang pro pasar."

"Kalau ideologi Pancasila ini translation-nya apa sih ke [kebijakan] ekonomi dan lain-lain?"

Ketiadaan ideologi yang kuat beserta turunannya inilah yang menurut Yoes membuat partai politik di Indonesia tidak ekstrem berseberangan. Justru sebaliknya, semuanya "berkumpul di tengah."

"Ada yang tengah ke kanan sedikit, ada yang tengah ke kiri sedikit, dan pada akhirnya semuanya bisa membuat jembatan untuk bertemu."

Menurutnya, di satu sisi, ini adalah hal yang baik, karena berarti polarisasi ekstrem yang ditakutkan banyak orang bisa dihindari.

Namun, di sisi lain, ia menyebut kondisi ini juga sangat memudahkan untuk trading atau hal-hal yang sifatnya kartel di level pemerintahan.

"Makanya jangan heran kalau nanti siapa pun yang berkuasa, mereka akan berupaya meng-input sebanyak-banyaknya partai di parlemen untuk mengegolkan program-programnya, tanpa peduli ideologinya apa."

"Yang tadinya kita pikir pro-HAM, ternyata bisa berkoalisi tuh sama orang yang selama kampanye didemonisasi sebagai pelanggar HAM."

Politisi, partai politik, bahkan relawan juga bisa berbalik arah. Inilah politik Indonesia menjelang pesta demokrasi lima tahunan

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News