Dunia Film Itu Fatamorgana yang Nyata
jpnn.com - Semua insan film tahu pasti, bahwa industri perfilman itu tergolong high risk, berisiko tinggi. Sulit memastikan proyeksi return on investment (ROI). Semua pelaku film juga paham, banyak fakta yang sulit diregulasi. Tetapi semua orang maklum, bahwa film itu tak pernah mati, karena kreativitas itu sangat dinamis dan tak pernah padam.
Kata Chairil Anwar, “Aku akan hidup lebih dari 1000 tahun lagi.” Itulah film kita. Yang maju, dia akan berlari sangat kencang, melompat lebih jauh, dan meninggalkan lainnya dalam jarak bumi-langit. Yang biasa-biasa saja, ya semakin jauh, semakin jatuh dan tinggal menunggu saat. Karena itu di film dikenal istilah: kreativitas tanpa batas.
Ada fakta bahwa jumlah bioskop di Indonesia itu hanya 721 an, yang masih aktif memutar film. Dari jumlah itu, 90 persen milik kelompok 21 atau XXI. Lalu Blitzmegaplex tak lebih dari 10 persen. Hak pemilik bioskop untuk memutar atau tidak memutar film tertentu. Hak mereka untuk memilih, jenis film apa yang “laku” di pasaran. Hak mereka untuk menentukan sebuah film itu diputar lebih lama atau lebih cepat dari skedulnya.
Hak mereka untuk menentukan harga, atau mengatur skedul penayangan. Dan lagi-lagi, itu tidak salah. Karena mereka bisnis, dan bisnis tidak pernah tunduk pada siapapun, kecuali demand atau permintaan pasar. Mereka harus hidup dan mendapatkan margin keutungan dari bisnis yang berbasis pada entertainment itu. Tidak ada yang bisa mengatur mekanisme pasar, itu mirip pemilihan presiden atau pemilihan calon anggota legislatif kemarin.
Tokoh yang hebat, mengakar kuat, punya massa loyal, banyak konstituen yang “berani mati”, tinggi dalam popularitas, besar dalam elektabilitas, belum tentu dipilih rakyat.
Begitu pun film, produk cinema yang dibuat oleh sutradara hebat, penulis terkenal, dukungan teknologi canggih, hasil yang perfect-pun belum tentu masuk kriteria dalam seleksi di Group 21 atau Blitzmegaplex. Dampaknya, investasi yang sudah dikeluarkan antara Rp 2 M sampai Rp 10 M untuk membuat film itu mandek, tidak bisa kembali modal. Film sudah dibuat, distribusi macet, tidak bisa diputar dimana-mana, tidak booming, tidak menghasilkan income. Produser bisa langsung stroke.
Akhirnya “banting harga”, dilempar ke TV, atau dijual DVD-VCD dengan risiko, pembajakan liar. Produser, rata-rata 95 persen, mengembalikan investasinya dari kerjasama distribusi di bioskop. Kecuali film-film dengan tema khusus, yang didedikasikan untuk kepentingan khusus, yang sudah ada funding-nya. Yang penting mereka mengerjakan film, sedang ongkos produksinya sudah dihandle oleh sponsor.
Semua insan film tahu pasti, bahwa industri perfilman itu tergolong high risk, berisiko tinggi. Sulit memastikan proyeksi return on investment
- 23 Ribu Karya Ramaikan Ajang International Photo & Video Animal Contest 2024
- Rilis Video November, Sigit Wardana Hadirkan Kehidupan Pernikahan
- Diperiksa Polda Jawa Timur, Nikita Mirzani: Aku Dipanggil Sebagai Saksi
- Ini Alasan Denny Sumargo Nekat Datangi Rumah Farhat Abbas, Oh Ternyata
- Respons Tamara Tyasmara Setelah Yudha Arfandi Ajukan Banding Vonis 20 Tahun Penjara
- Dipha Barus Ungkap Kisah di Balik Kolaborasi dengan Kunto Aji dan The Adams