Durian Nitrogen
Oleh: Dahlan Iskan
Sang suami mengambil satu ruas. Memakannya. "Iya. Enak sekali," katanya. Sang istri ikut mengambil. Saya pun bertanya pada sang istri. "Bumi langit," katanyi.
Sang pemilik memanggil manajernya: untuk mengetatkan seleksi durian yang dikirim oleh pemasok. Sang pemilik pun tidak mau kalah. Ia mengambil durian Musangking untuk diberikan kepada yang baru kecewa tadi. Puas. Mereka pulang dengan senyum.
Setelah menyelesaikan sesi durian Padang itu berarti saya harus minum kopi. Wah, bagaimana ini. Saya tidak terbiasa minum kopi. Tapi saya sudah telanjur sepakat menerima tata-tertib. Ya sudah. Seruput saja. Sedikit.
Ups.... Kopi hitam ini ternyata enak sekali. Saya kaget-kaget senang. Rupanya durian membawa pengaruh kepada rasa kopi.
Maka mulailah sesi durian Bali. Rasanya setara dengan yang dari Padang. Demikian juga durian Palu –yang sebenarnya datang dari luar kota Palu. Dagingnya lebih tebal. Tebal sekali. Sampai saya takut kekenyangan.
Tidak terasa kopi saya tinggal setengah gelas. Rupanya minum kopi terbaik itu di sela-sela makan durian. Atau makan durian terbaik itu di sela-sela kopi.
Lalu datanglah sesi yang dinanti-nanti: Musangking. Yang diimpor dari Malaysia. Sesi ini ternyata masih terbagi dalam dua sub-sesi.
Yang pertama, Musangking yang fresh. Yang didatangkan dari negara bagian Pahang. Rasanya, jangan ditanya lagi. Kita bisa langsung menyenangi apa yang harusnya kita benci: barang impor.