Durian Tarmidji

Oleh: Dahlan Iskan

Durian Tarmidji
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

"Juara apa?" tanya Asiang.

"Juara bikin kopi. Juara lima. Bulan lalu. Di kejuaraan dunia di Melbourne," jawab saya.

"Hebat ya Pontianak," komentarnya.

Dari kopi Asiang saya ke es krim. Di depan SMA Santo Paulus itu. Saya ajak senior saya ke situ. Saya dorong kursi rodanya.

Dia ialah Pak Tabrani Hadi. Ia pendiri Pontianak Post. Umurnya sudah 81 tahun. Beliau harus di kursi roda karena stroke 8 tahun lalu.

Saya jemput ia ke rumahnya. Bicaranya sudah mulai lancar. Di kedai es krim yang berdiri sejak 1950 itu kami bertukar rindu. Juga mengenang masa lalu. Yakni masa ketika Pak Tabrani menemui saya: menyerahkan Pontianak Post (masih bernama Akcaya) kepada saya.

Itulah kedatangan saya pertama ke Pontianak. Tahunnya saya sudah lupa. Setelah dua hari di sana saya mengambil kesimpulan: Harian Akcaya ini tidak perlu saya.

Akcaya sudah punya kantor. Sudah punya mesin cetak. Tidak punya utang. Bisa beli bahan-bahan baku sendiri. Masih bisa terbit rutin seminggu sekali.

Selama ini saya terlalu memuja musangking. Maka sejak pekan lalu itu, sejak makan durian Pontianak lagi, kesan saya pada durian musangking berubah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News