Ebiet G Ade, tentang Puisi – puisi yang Dinyanyikan
Simak, misalnya, penggalan Untuk Kita Renungkan: Anak menjerit-jerit//asap panas membakar//Lahar dan badai menyapu bersih//Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat//Bahwa kita mesti banyak berbenah.
”Kemampuan saya ya hanya seperti ini, memotret keadaan sekeliling saya dan menerjemahkannya dalam musik yang sederhana dan mudah dicerna,” ungkapnya.
Tapi, di waktu lain, Ebiet juga bisa bernyanyi dengan indahnya. Tentang kekasih, tentang cinta. Seperti dalam Camelia 2: Inginku berlari//Mengejar seribu bayangmu Camelia//Tak peduli kau kuterjang//Biar pun harusku tembus padang ilalang.
Menurut Ebiet, kehidupan bermusiknya banyak dipengaruhi cerita masa kecil. Tak pernah tebersit di benaknya jika lirik-lirik yang dituliskannya itu kelak akan membuat namanya besar.
Maklum saja, sewaktu kecil dia tidak pernah bermimpi menjadi musisi. Cita-citanya kala kecil adalah insinyur, pelukis, dan dokter. ”Saya beruntung karena beberapa kali karya saya menjadi inspirasi bagi beberapa orang,” tutur ayah empat anak itu.
Berkali-kali Ebiet mengetahui hal itu dari fansnya. Dia sampai tidak ingat sudah berapa orang yang pernah bilang hidup mereka berubah setelah mendengar lagu-lagu Ebiet. ”Saya anggap saja itu sebagai ladang ibadah,” imbuhnya.
Pria yang berulang tahun setiap 21 April itu mengaku, dirinya sempat khawatir penghargaan seprestisius Satyalencana Kebudayaan hanya diberikan kepada seniman yang bermain di wilayah populer.
Teguh berkarya di wilayah yang bisa dibilang lebih condong ke folk, yang tentu saja terasa asing di tengah ingar bingar digitalisasi musik sekarang ini, Ebiet memang bisa dibilang ”melawan arus” industri musik.