Eka Tjipta
Oleh Dahlan Iskan
Ketika umurnya 12 tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika dites kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus memulai dari kelas satu.
Eka tidak mau. Ia ingin langsung kelas tiga. Ia sangat malu. Kalau harus satu kelas dengan anak umur 7 tahun.
“Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya ciumi kaki itu,” ujar Eka.
Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas.
Yang bikin guru jengkel adalah pemberontakannya. Terutama guru berhitung. Eka tidak mau ikut urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.
Eka selalu memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. “Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi mana cukup,” katanya mengenang.
Sampai-sampai guru menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah.
“Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak,” bentak sang guru. Sambil terus memegang dua kaki Eka di atas.