Ekonom Perkirakan Kenaikan BBM pada Kuartal Pertama 2015
jpnn.com - JAKARTA - Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sejatinya sudah cukup alasan. Tujuan utamanya untuk mengurangi Utang Luar Negeri (ULN) dan setelah itu ada efek domino positif sehingga perekonomian membaik dan harapannya dampak baik itu segera dirasakan seluruh masyarakat Indonesia.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, mengatakan porsi subsidi BBM di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin membengkak akibatnya terjadi defisit dalam neraca transaksi berjalan atau Current Acount Deficit (CAD).
"Itu kenapa defisit di APBN harus direvisi membesar. Awal tahun kan di bawah 2 persen (defisit CAD terhadap Pendapatan Domestik Bruto/PDB) atau 1,7persen. Tapi karena pembengkakan subsidi BBM, diubah jadi 2,4 persen dari PDB," ungkapnya ditemui usai menjadi pembicara dalam Halal bi halal Industri Keuangan Syariah di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin.
Dalam estimasi CAD terhadap PDB di awal tahun, angkanya memang sebesar 2,7 persen kemudian direvisi menjadi 3,1 persen. Pada 2015 diperkirakan sebesar 2,5 persen defisitnya terhadap PDB.
Defisit kian membesar itu, kata dia, bukan sekadar kata-kata tetapi membutuhkan pembiayaan. Artinya pemerintah harus berhutang lebih besar. Belakangan ini PT Pertamina menyiasatinya dengan melakukan pembatasan volume dengan asumsi persediaan sampai akhir tahun masih bisa terjaga atau tidak melampaui 46 juta kiloliter.
Namun kemudian terjadi antrian konsumen BBM di mana-mana. "Memang solusinya ya harus ada penyesuaian harga, bisa dibuat bertahap misalnya dua sampai tiga tahun ke depan subsidi menjadi hilang sama sekalu atau diganti dengan subsidi fixed misalnya subsidinya Rp 200 saja. Berarti dua sampai tiga tahun lagi, harga subsidi dengan harga pasar besarnya cuma selisih Rp 2.000," ulas Mirza.
Selirih Rp 2.000 itulah yang disubsidi pemerintah. Pemerintah menurutnya bisa membuat program baru seperti itu. "Karena subsidi BBM selain membebani APBN yangmana dana itu mungkin bisa dialokasikan untuk pembangunan Rumah Sakit, sekolah, jembatan, atau lainnya, sekarang subsidi BBM hanya dinikmati oleh kendaraan bermotor. Padahal itu bisa dipakai untuk meningkatkan infrastruktur umum," tegasnya
BBM juga membebani impor karena konsumsi BBM meningkat sementara produksi minyak Indonesia turun. Impor BBM mencapai USD 3,7 miliar sampai USD 4 miliar per bulan. Dana itu, kata Mirza, tidak sedikit.
Impor BBM membuat Utang Luar Negeri (ULN) jangka pendek Indonesia meningkat. "Nah kalau konsumsi BBM turun maka ULN untuk impor BBM juga turun. Jadi tiga hal bisa terbantu dari pengendalian BBM bersubsidi ini; penurunan defisit APBN, penurunan impor, dan penurunan ULN. Di luar itu, dampak positifnya, dana yang ada bisa dialokasikan untuk yang lain, misalnya infrastruktur," terusnya.
Di negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, atau Thailand, lanjut Mirza, level inflasinya lebih rendah dari Indonesia dan bisa bertahan di kisaran yang mendatar secra permanen. Sebab mereka tidak terbebani subsidi BBM.
"Kalaupun ada itu kecil sekali sehingga mereka tidak perlu selalu setiap ada problem subsidi, kemudian subsidi diturunkan lalu harga BBM naik, inflasi juga naik. Inflasi naik, suku bunga jadi naik atau susah turun," tuturnya.
Mirza menyadari bahwa jika BBM bersubsidi jadi naik harga maka potensi terjadinya inflasi terbuka lebar. Perkiraannya, dari berbagai scenario, misalnya naik Rp 1.000 sampai Rp 2.500 per liter maka potensi tambahan inflasi antara 1,5 persen sampai 2,5 persen.
Pemerintah sudah menyadari apa yang harus dilakukan. Seandainya dilakukan penjelasan dan transparansi, Mirza meyakini masyarakat bisa menerima. Terlebih jika diberikan dana kompensasi dalam bentuk berbeda. Lalu, pemerintah saat ini atau pemerintah baru yang sebaiknya memulai naikkan harga?
"Ya saya rasa pemerintah sekarang dan pemerintah baru. Dua-duanya harus memberikan solusi pada harga subsidi BBM itu karena ada tiga problem tadi yang bisa diatasi dan dananya bisa digunakan untuk yang lebih produktif," jawabnya.
JAKARTA - Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sejatinya sudah cukup alasan. Tujuan utamanya untuk mengurangi Utang Luar Negeri
- KAI Ingatkan Ketentuan Bagasi untuk Penumpang yang Berlibur saat Nataru
- PB PMII Minta Kenaikan PPN 12% Dikaji Ulang
- Tarif PAM Jaya Naik Pada 2025, Tetapi Tak Berlaku Untuk Kelompok Masyarakat Ini
- PT Marwi Indonesia Industrial Resmi Kantongi Izin Fasilitas Kawasan Berikat, Ini Harapannya
- Kementan-Pupuk Indonesia Teken Kontrak Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Subsidi di 2025
- Arief Poyuono Merespons Polemik PPN 12 Persen