Ekonom Sebut Data Subsidi BBM Tak Karuan, Tidak Jelas Perinciannya
jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah telah memberikan sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena dana subsidi dan kompensasi yang membengkak mencapai Rp 502,4 triliun.
Hal itu dianggap sangat membebankan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), bahkan menjadi wacana untuk pentingnya menaikan harga BBM saat ini.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan seharusnya akumulasi nilai subsidi tersebut terdiri dari dana kompensasi PLN Pertamina, dana subsidi LPG 3 kilogram, subsidi listrik, dan BBM.
Namun, berdasarkan data Kementerian Keuangan tidak dijelaskan secara terperinci dana untuk BBM, LPG, dan listrik.
"Iya ini jadi kecampur, Rp 502 triliun itu tidak spesifik hanya untuk BBM subsidi ada dana kompensasi juga ke PLN," ujar Bhima kepada JPNN, Selasa (30/8).
Menurut Bhima, sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi baru Rp 88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita.
Disamping itu, Bhima menyebut masih masih banyak subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, bahkan dinikmati oleh industri skala besar yang saat ini belum dan masih jarang pembatasannya.
"Pemerintah bisa melakukan revisi aturan untuk menghentikan kebocoran Solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar," ungkap Bhima.
Pemerintah telah memberikan sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena dana subsidi dan kompensasi yang membengkak mencapai Rp 502,4 triliun.
- Realisasi APBN untuk Subsidi BBM hingga Listrik 2024 Capai Rp 434,3 Triliun
- Distribusi BBM Bersubsidi Dinilai Terus Membaik
- Bambang Komisi XII Anggap Suplai BBM Selama Nataru Lancar, Tidak Ada Kendala
- Tinjau Pertamina Digital Hub, Wamen BUMN Pastikan Pasokan Energi Aman Jelang Tahun Baru
- Libur Natal 2024, Konsumsi Pertamax Naik 21,7 Persen di Sumbagsel
- Pantau Satgas Nataru Pertamina, Wakil Menteri ESDM Jamin Ketersediaan Energi di Medan