Eksepsi Tom Lembong Ungkap Banyak Kejanggalan Dakwaan Jaksa

Eksepsi Tom Lembong Ungkap Banyak Kejanggalan Dakwaan Jaksa
Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir memberikan keterangan kepada wartawan. Foto: ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Padahal Jaksa Penuntut Umum menggunakan selisih bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor dari realisasi kerjasama Inkopkar Inkoppol, dan Puskoppol dengan 8 Perusahaan Swasta sebagai Dasar Perhitungan Kerugian Negara.

Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dalam Dakwaannya hanya menjelaskan secara rinci bagaimana PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (“PT PPI”) telah membeli GKP dari 8 (delapan) Perusahaan Swasta sebesar Rp 9.105/kg dibandingkan dengan Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp. 8.900/kg.

Ketujuh, uraian mengenai Kerugian Negara Dalam Surat Dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap karena Perhitungan Kerugian Negara di Dalam Surat Dakwaan mengabaikan ketentuan Pasal 4B Undang-Undang 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara jo. Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara akibat perbuatan Terdakwa karena dalam hal ini telah mengabaikan status PT PPI yang merupakan perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mana memiliki kekayaan terpisah dari keuangan negara sehingga keuntungan maupun kerugian yang dialami oleh BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 4B Undang-Undang 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Selain itu Jaksa Penuntut Umum juga tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara karena telah mengabaikan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan bahwa bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

Kedelapan, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, di mana dalam Surat Dakwaannya Jaksa Penuntut Umum menggunakan Harga Patokan Petani dalam menyimpulkan adanya kemahalan harga beli dan selisih keuntungan yang diterima 9 (sembilan) Perusahaan Swasta dari hasil Jual – Beli GKP dengan PT PPI, oleh karena sesuai Pasal 1 angka 2 Permendag 35/2015 dan Permendag 42/2016 Harga Patokan Petani hanya berlaku di tingkat Petani, sedangkan dari awal Jaksa Penuntut Umum telah mengetahui kedudukan 9 (sembilan) Perusahaan Swasta yang merupakan Importir dan Produsen Gula bukan berkedudukan sebagai Petani.

Selain itu, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum senyatanya tidak mencantumkan dasar hukum/Peraturan Perundang-undangan yang relevan dalam menggunakan Harga Patokan Petani dalam Perkara a quo dan Jaksa Penuntut Umum juga tidak menguraikan tahun realisasi pembelian Gula Kristal Putih oleh PT PPI kepada 9 (sembilan) Perusahaan Swasta.

Kesembilan, Surat Dakwaan Tidak Cermat, Tidak Jelas Dan Tidak Lengkap Karena Tidak Menguraikan Peristiwa Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan sejak Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2023 sebagaimana Surat Perintah Penyelidikan, Surat Perintah Penyidikan, Surat Penetapan Tersangka dan Surat Penetapan Penahanan yang Menjadi Satu-Kesatuan dengan Surat Dakwaan.

Kuasa hukum mengungkap fakta yuridis menjadi poin penting betapa TTL tidak memiliki kesalahan apapun untuk disangkakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News