Eksistensi Suap Hakim, Mafia Hukum dan Peradilan di Indonesia: Penyakit Kronik dan Upaya Penanggulangannya

Eksistensi Suap Hakim, Mafia Hukum dan Peradilan di Indonesia: Penyakit Kronik dan Upaya Penanggulangannya
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan DR. I Wayan Sudirta, SH, MH. Foto: Dokumentasi pribadi

Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Akibatnya banyak pengawasan yang gagal dan tidak menyentuh akar permasalahan.

Penegakan hukum atau penindakan tidak membuat efek jera karena sudah sangat sistemik.

Pengawasan eksternal dari KY maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan. Bukan tidak mungkin pula pengawasan ini hanya sebuah simbol saja dan tidak memiliki skema pengawasan yang efektif dan melekat secara implementatif.

Persoalan selanjutnya adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali hanya dimaklumi dan pemberian hukuman yang tidak tegas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Pengabaian kesalahan bukan hal baru dan seringkali tidak mendapat hukuman atau bahkan hanya teguran pun terlewatkan.

Selanjutnya yang saya juga ingin soroti adalah identifikasi terhadap permasalahan sistem dan perlakuannya. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam roadmap untuk penanggulangannya.

Sering kali para pencari keadilan dihadapkan pada permasalahan permintaan uang “Operasional”, pemberian fasilitas, dan berbagai modus pemberian yang tampaknya tidak terelakkan.

Hal ini berakar pada imbalan uang pada jasa litigasi yang memang cukup mahal dan memiliki tingkat kesulitan tinggi. Demikian pula beberapa mekanisme hukum acara memiliki celah-celah yang menyuburkan “calo” atau pengurusan perkara.

Lebih jauh lagi bahkan untuk mendapatkan Salinan atau dokumen lainnya sangat sulit dan memiliki “harga”. Masyarakat seringkali dihadapkan pada dilema seperti “bocoran” putusan perkara yang memiliki harga untuk dapat diubah seperlunya.

Beberapa waktu lalu kita mendengar kembali Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua orang pengacara, serta seorang panitera, terkait kasus ekspor CPO.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News