Empat Misi Terawan
Oleh: Dahlan Iskan
IDI sudah menempuh prosedur yang benar –dan panjang– untuk sampai pada pemecatan itu: sesuai ketentuan organisasi.
Tapi Terawan tetap tidak merasa bersalah. Tidak ada prinsip kedokteran yang ia langgar. DSA itu terus ia jalankan –di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
Tentu peran pimpinan militer –atasan Terawan– sangat besar. Sehingga Terawan terlindungi dengan praktiknya itu.
Saya selalu memuji atasan Terawan yang berani mengambil risiko. Kalau saja atasan Terawan adalah sosok yang sensi mungkin DSA akan diperintahkan untuk diakhiri. Bahkan mungkin Terawan sendiri sudah mendapat sanksi militer.
Dengan kepemimpinan di tentara seperti itu DSA bisa jalan terus. Saya pun, waktu itu, jadi ingin tahu: seperti apa DSA itu. Saya lantas menjalaninya –meski tidak punya keluhan apa-apa. Yakni saat saya masih menjadi sesuatu dulu.
Saya akhirnya menjadi tahu praktik DSA seperti apa. Sebelum di-DSA otak saya harus di MRI. Setelah DSA harus di MRI lagi.
Setelah selesai DSA diperlihatkanlah hasil foto MRI-nya. Diperbandingan. Sebelum dan sesudah DSA. Terlihat jelas: begitu banyak saluran darah kecil-kecil di seluruh otak yang semula buntu (blok hitam) menjadi terbuka (saluran putih).
Praktik DSA-nya pun ternyata tidak sakit. Memang sempat muncul sedikit waswas saat saya akan berbaring di atas meja operasi. Terutama ketika dokter sudah memegang pisau iris.