Empon-Empon

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Empon-Empon
Terawan Agus Putranto. Foto: Ricardo/JPNN.com

Globalisasi menjadikan dunia rata hingga semua negara bisa bermain sama rata sama rasa. Namun, dalam kenyataannya tidak ada lapangan yang datar itu. Level Playing Field hanya jargon yang tidak ada dalam kenyataan.

Yang terjadi kemudian globalisasi memunculkan negara-negara Barat sebagai pemenang, dan negara-negara miskin sebagai pecundang. Dalam krisis pandemi seperti sekarang kondisi itu semakin terasa. Dominasi dan hegemoni Barat memaksa negara-negara miskin menjadi pecundang permanen.

Dalam krisis pandemi ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) muncul menjadi penafsir tunggal kebenaran. Semua aturan, semua protokol, semua obat, semua vaksin yang dipakai dan diterapkan di seluruh dunia harus melalui perkenan WHO. Tanpa perkenan WHO, Anda akan menjadi outcast atau orang yang diasingkan.

Vaksin dan vaksinasi telah menjadi proyek besar yang menguntungkan negara-negara maju. Omzet miliaran dolar dari penjualan vaksinasi mengalir ke kantong negara-negara maju.

Negara-negara miskin yang sudah terjerat sampai ke leher, masih tetap dieksploitasi, dipaksa untuk membayar vaksin dengan harga mahal.

Pandemi global ini dipakai WHO untuk memaksakan satu aturan seragam ke seluruh dunia. Tidak ada ruang untuk bernapas, tidak ada ruang untuk penerapan local wisdom atau kearifan lokal.

Semua harus menurut dan menerapkan global wisdom, kearifan global yang belum tentu cocok dengan tradisi lokal.

Produk vaksin didominasi oleh negara-negara besar yang sudah di-endorse oleh WHO. Produk vaksin lokal, seperti Vaksin Nusantara dari Indonesia, tidak akan bisa masuk karena WHO tidak akan pernah membukakan pintu.

Suara perlawanan tidak akan berhenti. Terawan boleh dibungkam, tetapi perlawanan secara terbuka maupun klandestin jalan terus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News