Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat
Di kampung, tak cuma Aval yang berkebun sawit. Warga lainnya juga ada. Tapi kesulitan, lantaran tak cukup modal.
Hingga akhirnya, dia bersama keluarga dan sahabatnya membangun koperasi. Rencananya untuk melakukan peminjaman modal.
"Berkebun sawit tidak bisa sendiri. Harus sama-sama. Berat, tidak ada modal untuk pupuk," katanya.
Meski begitu, Aval tetap konsisten menggarap berkebun sawit. Walaupun masih ada panggilan bekerja dari agen kapal.
"Saya sudah malas. Walau sebenarnya bisa saja kebun ditinggal. Gaji di kapal juga bisa digunakan mengupah pekerja. Tapi saya sudah enak begini. Dekat keluarga, jauh dari maksiat," paparnya.
Soal dampak negatif kebun sawit terhadap lingkungan, Aval mengakuinya. "Sawit ini akarnya serabut. Jadi tidak bisa menyimpan air. Makanya kalau hujan cepat banjir. Tapi kalau kami kan sekala kecil, untuk hidup saja," katanya.
Terlepas dari itu, dia sadar satu hal bahwa Indonesia ini kaya. "Kita lambat sadarnya. Sekarang di tempat kita hampir semua kebun milik perusahaan asing. Ada dari Malaysia, sama negara lain. Kenapa dulu kita tidak garap sendiri, malah diserahkan ke orang lain," ucap Aval.
Aval sedikit protes kepada pemerintah. Lantaran warga lebih kesulitan mendapatkan lahan ketimbang pengusaha asing.
Aval dulu bekerja di kapal pengangkut batu bara dengan gaji besar, kini memilih pulang kampung dan berkebun.
- Kelapa Sawit untuk Pembangunan Berkelanjutan
- Pengusaha Batu Bara Ini Dilaporkan ke Polda Metro Jaya, Ada Apa?
- Menko Airlangga Dorong Industri Kelapa Sawit yang Berkelanjutan, Efisien & Kompetitif
- Perusahaan Batu Bara Ini Berkomitmen Menjaga Lingkungan di Area Tambang
- KPK Dalami PNBP dari Tambang Batu Bara ke Anak Buah Sri Mulyani
- Kembangkan Produk UKMK Sawit Petani di Sumbar, Aspekpir & BPDPKS Berkolaborasi