Enam Keputusan untuk Bali

Enam Keputusan untuk Bali
Enam Keputusan untuk Bali
Untungnya teman-teman di Bali punya jalan keluar. Yang diperlukan adalah keputusan. Yakni menyewa pembangkit 80 MW yang harus siap sebelum Juli. Kalau ditambah dengan pemasangan yang 30 dan 50 MW, maka teoritis teratasi. Persoalannya adalah biaya. Menyewa pembangkit 80 MW bukan barang yang murah. Tambahan BBM-nya saja sudah selangit. Di saat rakyat masih menolak kenaikan TDL, keuangan PLN akan terus belepotan.

Tapi jalan keluar harus ditemukan agar penyewaan ini tidak terlalu memberatkan PLN Bali. Ada titik terang. Sewa 80 MW itu hanya diperlukan waktu beban puncak selama lima jam saja. Antara pukul 5 sore sampai 10 malam. Harga sewanya pun murah. Dibuka saja di sini: paling tinggi Rp 1.400/kwh.

Persoalannya: maukah pemilik mesin itu hanya disewa 5 jam sehari? Tentu tidak. Harus 24 jam. Lalu bagaimana?

Teman-teman di Bali punya pemikiran yang istimewa. Mesin sewaan itu bisa dijalankan 24 jam. Justru mesinnya PLN sendiri yang dimatikan. Apakah ini tidak terkesan menguntungkan “orang lain”?  Tidak. Sebab mesin milik PLN itu borosnya bukan main. Jatuhnya lebih mahal: Rp 2.000/kwh. Selisih Rp 600/kwh. Maklum, PLN menggunakan pembangkit tahun 1974. Dengan demikian ide menyewa mesin 80 MW dadakan ini fisible dilakukan. Di samping bisa mengatasi krisis di Bali bulan Juli nanti, hitung-hitungan bisnisnya juga masuk.

DI sela-sela acara retreat tiga hari di Istana Tampak Siring, Bali (Senin-Rabu) ini  saya sempat “mencuri” waktu melihat proyek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News