Enam Tahun Korban Lumpur Lapindo Hidup dalam Ketidakpastian
Bertahan di Tanggul demi Tuntut Ganti Rugi
Selasa, 29 Mei 2012 – 00:02 WIB
Supriyatno mengatakan, boleh-boleh saja pihak lain memandang warga yang memblokade tanggul itu merupakan aksi protes. "Kami lebih suka menyebutnya pulang ke rumah kami sendiri. Rumah kami ini ya di sini," tandasnya.
Setelah enam tahun bencana ini, dia benar-benar kebingungan mencari nafkah. "Kasarannya, kalaupun sudah diberi uang muka, tapi kemudian enam tahun tak jelas dibayar, tentu uang itu sudah habis untuk biaya hidup sehari-hari saja," katanya.
Karena itu, bersama korban lumpur Lapindo yang lain, pendapatan Supriyatno sangat bergantung pada orang yang membayar saat "menikmati" wisata lumpur. Jumlahnya tak seberapa. Tak lebih dari Rp 25 ribu per hari. Jumlah itu hanya cukup untuk makan dua kali dengan menu sederhana.
Paring Waluyo Utomo, pendamping warga korban lumpur Lapindo, mengatakan, pemerintah dan PT Minarak seharusnya peduli dengan permasalahan sosial seperti ini. "Tidak lantas membeli (lahan milik warga) dan selesai itu sudah," katanya.
Enam pekan sudah sejumlah warga bertahan hidup di tanggul lumpur Lapindo. Mereka adalah warga yang masuk dalam peta terdampak sesuai dengan Perpres
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408