Fahira Idris: Evaluasi Total Penyelenggaraan Pemilu 2019
jpnn.com, JAKARTA - Gelaran penyelenggaraan Pemilu 2019 meninggalkan banyak persoalan dan catatan penting. Tidak hanya persoalan substantif misalnya aturan perundang-undangan terkait pemilu, sistem pemilu serentak pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg), serta integritas penyelenggara di semua jenjang, tetapi juga persoalan yang sifatnya teknis di lapangan terutama terkait logistik, proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, keamanan kotak suara yang berisi dokumen pascapencoblosan, sistem informasi penghitungan suara KPU yang banyak mendapat sorotan, dan banyak persoalan lainnya.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan hukum dan politik mengungkapkan Pemilu 2019 atau pemilu kelima pascareformasi ini harusnya berjalan lebih baik dan demokratis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, jika melihat apa yang terjadi terutama saat hari pemungutan dan penghitungan suara 17 April 2019 hingga saat ini, sangat banyak persoalan yang membayangi pelaksanaan pemilu kali ini.
BACA JUGA: Real Count KPU: Jokowi - Ma’ruf Unggul Atas Prabowo - Sandi
“Semua sisi penyelenggaraan Pemilu 2019 harus dievaluasi total. Dari sisi regulasi banyak hal yang harus direvisi. Dari sisi teknis lebih banyak lagi yang harus diperbaiki. Berbagai persoalan yang terjadi di Pemilu 2019 ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama para elit atau mereka yang punya kewenangan dan kekuasaan mendesain regulasi dan sistem pemilu yang sejak awal memang kurang aspiratif. Cukup sekali kita mengalami pemilu seperti ini,” papar Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/4).
Menurut Fahira, menyerentakkan pilpres dan pileg harus dipikirkan kembali karena begitu banyak dampak dan konsekuensi yang terjadi di lapangan. Selain membuat proses penghitungan suara menjadi lebih lama, juga menguras daya tahan dan tenaga petugas KPU, pengawas lapangan, saksi, hingga tenaga pengaman. Bahkan sampai ada yang jatuh sakit hingga meninggal akibat kelelahan.
Pilpres dan pileg serentak juga mengurangi perhatian publik terhadap pemilihan DPR, DPD, DPRD sehingga potensi terjadinya kecurangan terbuka. Temuan terakhir, Bawaslu, Kota Surabaya merekomendasikan penghitungan suara untuk pemilihan legislatif di seluruh TPS yang berada di Surabaya karena dugaan salah hitung Formulir C1.
Selain itu, lanjut Fahira, egoisme beberapa parpol yang mematok ambang batas 20 persen pencalonan presiden harus diakhiri karena membatasi hak rakyat memilih lebih banyak calon presiden.
Menurut Fahira, ambang batas yang sangat besar ini juga dianggap tidak sesuai dengan konsep pemilu serentak. Selain berpotensi memunculkan calon tunggal, ambang batas pencalonan presiden 20 persen juga berpotensi mempertemukan hanya dua kekuatan politik seperti yang terjadi saat ini sehingga potensi gesekan juga besar.
Gelaran penyelenggaraan Pemilu 2019 meninggalkan banyak persoalan dan catatan penting. Tidak hanya persoalan substantif misalnya aturan perundang-undangan terkait pemilu, sistem pemilu serentak pilpres dan pemilu legislatif, serta integritas penyelenggara
- Anggota DPD RI Lia Istifhama Mengapresiasi Kejagung Tindak Tiga Hakim Terduga Terima Suap
- Dukung Indonesia Gabung BRICS, Sultan: Ekonomi Indonesia Perlu Tumbuh 8 persen
- Ketua DPD RI Usulkan Lemhanas Memproduksi Film Bertema Cinta Tanah Air dan Patriotisme
- Bang Japar Resmi Dukung RIDO, Fahira Idris: Warga Jakarta Harus jadi Kreator Pembangunan
- Filep Wamafma: Komite III DPD RI Siap Berkolaborasi dengan Pemerintah untuk Entaskan Kemiskinan Ekstrem
- Sultan Minta Pemerintah Memitigasi Potensi Permasalahan Pilkada Serentak 2024