Faktor Human Error Mencuat

Gunung Salak, Rute Pilihan Pilot

Faktor Human Error Mencuat
Sri Pujiyanti mendekap Nunuk, tantenya saat menunggu kabar suaminya, Anthon Dariyanto di bandara Halim Perdanakusuma, Kamis, 10 Mei 2012. Foto: Dhimas Ginanjar/Jawa Pos
Memang, masih banyak kemungkinan kenapa burung besi seharga USD 35 juta itu bisa jatuh. Tapi, melihat kondisi pesawat yang hancur di duga kecepatan pesawat saat itu sekitar 600-700 km per jam.  Jadi, begitu turun untuk menghindari awan, SSJ100 langsung menabrak gunung. "Itu inisiatif pilot," kata Gagah.

Yang pasti, kata Gagah, berdasarkan rekaman percakapan antara pesawat dengan ATC Bandara Soekarno Hatta, saat pilot melaporkan pesawat bakal menurunkan ketinggian dari 10 ribu meter menuju enam ribu meter, belum ada respon dari Air Traffic Control (ATC). Saat itulah diketahui kalau pesawat buatan Rusia itu hilang kontak.

Gagah mengakui setelah lost contact, SSJ100 tidak mengirim sinyal darurat ke otoritas penerbangan Indonesia. Setelah di cross chek ke ATC Bandara Changi dan ATC Australia, mereka juga tidak menerima sinyal darurat tanda pesawat jatuh. Padahal, pesawat yang jatuh biasanya mengirimkan sinyal location beacon-aircraft (ELBA)" atau emergency locator transmitter (ELT).

"Kemungkinannya, impact benturan terlalu besar sehingga alatnya rusak. Kalau habis baterei tidak mungkin, karena baterei ELT dan ELBA biasanya tahan selama seminggu. Karena itu agak aneh mengapa tidak ada sinyal darurat setelah jatuh," terangnya.

PENYEBAB joy flight SSJ100 menjadi deadly flight mulai terungkap. Terutama, kenapa penerbangan kedua tersebut mengambil rute Bandara Halim Perdana

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News