FIFA, Gangster, dan Korupsi
Oleh; Djoko Susilo*
Apa yang dilakoni Blatter itu tampaknya sesuai dengan adagium terkenal yang dibuat Lord Acton,”Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely.” Selama 17 tahun kekuasaan, Blatter memang tidak tertandingi. Siapa pun yang mencoba melawannya akan terjungkal, termasuk Bin Hammam, mantan orang dekat Blatter yang memberanikan diri melawan Blatter dalam Kongres Luar Biasa FIFA 2010.
Sistem kekuasaan di FIFA itu tampaknya belakangan diikuti oleh PSSI. Kita semua tahu bahwa pada awal sejarahnya, PSSI dibentuk sebagai alat perjuangan dan bersikap sukarela. Bisa dipastikan tidak ada sogok-menyogok untuk menjadi pengurus PSSI di semua tingkat. Membangun klub bola pun hanya berdasar hobi dan kecintaan terhadap permainan itu.
Di Surabaya dulu, orang dengan sukarela menyumbang untuk klub kesayangannya, Persebaya. Juga di berbagai daerah lain di Malang untuk klub Persema, di kampung saya Boyolali untuk klub Persebi. Organisasi bola hidup karena adanya rasa sukarela dan setia kawan. Jauh sekali motif profit dan mau menang sendiri.
Kerusakan di tubuh PSSI dan organisasi bola atau klub bola mulai terasa ketika bentuk organisasi dari perserikatan berubah menjadi perusahaan dengan alasan demi profesionalitas. Tapi, itu semua hanya kamuflase. PSSI tidak berhasil mengembangkan good corporate governance dan sportivitas dalam sepak bola. Buktinya, meski sudah bertahun-tahun dibentuk dan diselenggarakan ISL atau Ligina atau nama apa pun yang sejenis, PSSI tidak pernah menertibkan akta, kontrak pemain, NPWP, dan berbagai macam tugas yang bertujuan memprofesionalkan sepak bola Indonesia.
Namun, para pengurus PSSI lebih sibuk power play dan tidak melakukan tugas organisasi sebagaimana mestinya. Para bos PSSI ingin seperti bos di FIFA yang tanpa kerja kerasnya menjadikan sepak bola the beautiful game.
Ekses populernya sepak bola, di banyak negara para gangster mulai memengaruhi klub bola. Baik sebagai pemilik, pengatur skor, atau pelaku tindakan tidak terpuji lainnya.
Di Indonesia, memang gangsterisme belum tampak jelas dalam permainan bola. Tetapi, indikasinya sudah mulai mencemaskan, termasuk adanya permainan skor atau sepak bola gajah. Sebelum hal itu berdampak lebih merusak, sebaiknya dibongkar total dengan cara merombak habis pengurus PSSI sampai akar-akarnya. Gangster dan mafia tidak boleh hidup di Indonesia. Tugas pemerintah melalui Kemenpora adalah menumpas habis mereka semua.(***)
*) Penulis adalah mantan Duta Besar RI untuk Swiss
TIDAK diragukan lagi, Swiss adalah negara yang terkenal sangat bersih, baik dalam arti kebersihan yang riil maupun sistem birokrasi yang bersih dari
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan
- Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur
- Kementerian Baru dan Masa Depan Kebudayaan
- Negara Jangan Hanya Mencintai Sumber Daya Alam Kawasan Timur Indonesia
- Ketahanan Pangan Bermula dari Rumah
- Gerakan Mahasiswa: Instrumen Mewujudkan Indonesia Emas 2045