Fikri Jufri

Fikri Jufri
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Tempat magang saya di TEMPO berada di sosoran belakang. Emperan lantai atas. Di situlah para wartawan TEMPO bekerja. Di meja-meja yang di atasnya terlihat mesin tik -lupa mereknya.

Baca Juga:

Saya boleh belajar mengetik berita di meja mana saja yang kosong. Kemarin saya ingat-ingat siapa saja wartawan yang bekerja di situ.

Setiap yang saya ingat sudah meninggal dunia. Mungkin tinggal Syahril Wahab yang masih hidup -sudah lama dia berhenti dari TEMPO.

Para redaktur TEMPO bekerja di satu ruang berpintu di sebelah sosoran itu.

Selama tiga bulan magang di TEMPO rasanya saya hanya sekali masuk ke ruang itu. Itu pun karena dipanggil seorang redaktur. Gara-garanya: tulisan saya yang tidak lengkap. Saya lupa mencatat keterangan sumber berita yang saya wawancara: dia lulusan universitas apa. Saya hanya menyebutkan Amerika.

Saya akan ingat nama redaktur itu seumur hidup: Zen Umar Purba. Dia bantu saya agar saya ingat. Sampai dia menyebut banyak nama universitas terkemuka di Amerika. Tetapi saya tetap tidak ingat yang mana.

Saya harus kembali ke sumber berita tersebut. Naik bus kota. Ganti dua kali. Hanya untuk bertanya nama universitas. Belum ada HP saat itu. Juga belum lazim menghubungi sumber berita lewat telepon.

Selama magang itu saya hanya kenal nama-nama para redaktur TEMPO lewat nama besarnya di majalah. Saya tidak berani memperkenalkan diri kepada mereka. Saya merasa mereka itu para dewa.

Sudah sekitar 10 tahun terakhir Fikri Jufri tidak bisa ikut Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Jawa Pos. Kesehatannya terus menurun. Kemarin dia meninggal.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News