Fikri Jufri

Fikri Jufri
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Lantai bawah bangunan bekas toko itu untuk bagian pemasaran, iklan, dan keuangan. Saya sama sekali tidak pernah ke ruang yang di bawah itu.

Selesai magang, saya kembali ke Samarinda. Sebenarnya saya tidak boleh pulang. Bur Rasuanto, wakil pemimpin redaksi saat itu, mengatakan bahwa saya memenuhi syarat jadi wartawan TEMPO di Jakarta. Akan tetapi saya terikat kontrak: harus kembali ke koran yang mengirim saya ke Jakarta. Saya harus menerapkan hasil pendidikan di Jakarta untuk memajukan koran daerah.

Akhirnya saya diminta merangkap menjadi wartawan TEMPO di Kaltim. Saya pun pulang ke Samarinda dengan mengantongi Kartu Pers TEMPO. Rasanya gagah sekali.

Saya baru mengenal Fikri Jufri setelah kantor TEMPO pindah ke Pasar Senen. Ruangannya besar sekali. Tidak ada sekat yang memisahkan antara wartawan dan redaktur. Siapa pun bisa melihat siapa pun.

Suatu ketika saya ke Jakarta. Mampir ke kantor TEMPO di Proyek Senen itu. Saya bisa melihat roh itu yang namanya Fikri Jufri: tinggi, besar, kulitnya putih, rambutnya keriting.

Fikri sering berbicara dengan redaktur wanita Toety Kakilailatu dalam bahasa Belanda. Atau dengan George Junus Aditjondro dalam bahasa Inggris. Sambil tertawa-tawa. Saya perhatikan dari jauh dengan rasa minder. Minder sekali. Wartawan dari kota kecil.

Suatu saat saya dipanggil orang hebat itu. Ternyata Fikri sedang memegang kertas hasil ketikan saya. Dia merasa tidak mengerti dengan apa yang saya tulis. Dia juga mengatakan "lead" tulisan saya (alenia pertama sebuah tulisan) sangat tidak menarik.

Fikri minta saya mengganti "lead" itu. Lama saya mikir. Tidak ketemu. Fikri teriak. Mana "lead" yang baru. Saya paksakan bikin "lead" sekuat pikiran saya.

Sudah sekitar 10 tahun terakhir Fikri Jufri tidak bisa ikut Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Jawa Pos. Kesehatannya terus menurun. Kemarin dia meninggal.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News