Fiksi 'Gerr' Nazaruddin
Sabtu, 09 Juli 2011 – 00:09 WIB
Saat menonton lakon ini di Jakarta pada 1996 silam di Gedung Kesenian Jakarta, saya ingat seorang nenek tua tampil meratap berkepanjangan. Dia berkeluh-kesah kepada Tuhan, mengapa Bima yang baik hati dicabut nyawanya. “Barangkali salah panggil ya,” pekik si nenek. “Soalnya, satu gerombolan di sini sampai copot matanya karena menangis,” kata si nenek.
Eh, tiba-tiba terjadi kejutan. Jasad almarhum Bima menggeliat Bima yang tersentak dari tidur tercengang Mendadak sontak kedua penggali kubur memeluk peti Bima mengetuk-ngetuk dari dalam peti. Dia tolakkan tutup peti dan dia pun tegak berdiri.
Orang-orang masih tidak percaya bahwa Bima telah hidup lagi. Mereka menyangka bahwa itu bukanlah Bima melainkan roh jahat yang masuk ke dalam tubuh Bima. Bahkan anak dan istri Bima tak percaya yang mereka cintai hidup lagi. Bima jengkel tak kepalang karena ada sahabatnya, Koko, yang ternyata mencintai bininya. Bima merasa dikhianati.
Bima makin kaget karena ternyata seluruh hartanya telah dibagi habis oleh anak-istri dan sanak saudaranya. Bima telah sadar bahwa orang-orang terdekatnya tidak sepenuh hati mencintai Bima. Mereka hanya pura-pura saja.