Firaun Versi Tiktoker Syarifah Alkaff

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Firaun Versi Tiktoker Syarifah Alkaff
TikTok. Ilustrasi/foto: ANTARA/Arindra Meodia

Surat kabar adalah ruang publik, demikian pula radio dan televisi yang seharusnya menjadi ruang publik yang bebas diakses oleh citizen. Akan tetapi, dalam praktiknya, ruang publik itu sudah terkooptasi oleh kekuasaan dan menjadi korban hegemoni penguasa.

Penguasa bukan hanya pemerintah, melainkan juga pemasang iklan, kelompok elite politik, dan pemilik media yang tidak membiarkan publik mengakses media menjadi ruang terbuka.

Di sinilah media sosial menawarkan revolusi. Public sphere menjadi ruang yang betul-betul terbuka bebas yang bisa diakses siapa saja.

Pemerintah tidak bisa lagi memonopoli kebenaran seperti pada era kejayaan media konvensional. Pemerintah harus bertarung di ruang publik itu untuk mempertahankan kebijakannya yang ditantang atau ditentang para warga negara.

Sekarang pemerintah terlihat kewalahan menghadapi era baru demokrasi para netizen itu. Banyak yang panas kuping dan main kuasa dengan melaporkan ke polisi.

Kasus Bima Yudho di lampung adalah contohnya. Sekarang kasus yang sama menimpa Syarifah.

Alih-alih memeriksa kebenaran informasi mengenai kerusakan jalan dan lingkungan, penguasa lebih suka memberangus kritik dengan melaporkan ke polisi. Yang dilakukan oleh penguasa adalah ‘kill the messenger’ atau membunuh si pengirim pesan, bukan meneliti pesan yang disampaikan si messenger.

Syarifah didesak untuk meminta maaf. Dia tidak punya pilihan lain kecuali meminta maaf karena ada ancaman pidana melalui UU ITE.

Syarifah yang masih duduk di bangku SMP mengkritik kebijakan Pemkot Jambi yang menyebabkan kerusakakan jalan di sekitar rumah neneknya di wilayah Kota Jambi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News