Firaun

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Firaun
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Perjanjian damai dengan Israel selalu membawa ongkos mahal. Meski demikian Amerika tidak pernah lelah mencobanya dengan segala risiko. Para pemimpin Arab pun berusaha mencoba meskipun tahu risikonya sangat besar.

Presiden Donald Trump mencoba peruntungannya untuk mendamaikan Israel dengan negara-negara sekitarnya. Ia mengutus menantunya, Jared Kushner yang keturunan Yahudi, untuk menjadi mediator dan negosiator. Kushner berhasil myakinkan Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk berdamai dengan Israel.

Trump mendapat kredit besar dari perdamaian ini. Perdamaian ini disebut sebagai ‘’Abraham Accord’’ atau ‘’Perdamaian Ibrahim’’. Nama ini dipilih untuk merujuk pada Nabi Ibrahim yang menjadi ‘’Bapak Para Nabi’’ dan ‘’Bapak Monoteisme’’ yang menjadi cikal bakal agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Nama itu terlihat bagus dan indah, tetapi menyimpan berbagai risiko sebagaimana perjanjian Camp David yang diprakarsai oleh Carter. Bagi negara barat perjanjian damai dianggap sebagai kemajuan, tetapi bagi kalangan Islam militan di Timur Tengah hal itu dianggap kemunduran dan kekalahan.

Kali ini, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mencoba peruntungan dalam upaya mendamaikan Timur Tengah. 

Biden mengunjungi Israel dan kemudian Arab Saudi. 

Biden dikecam karena dianggap menjilat ludah ketika harus mengalah dan bertemu dengan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), yang sekarang menjadi penguasa de facto Arab Saudi.

Di mata Barat, MBS punya dua wajah yang bertentangan. 

Firaun menjadi simbolisasi penguasa diktator dan otoriter sekaligus zalim. Membunuh Firaun berarti peruwujudan jihad melawan kezaliman.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News