FPI Menempuh Jalur Hukum, HNW: Pemerintah Juga Harus Taat Konstitusi
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi sikap Tim Hukum Front Pembela Islam (FPI) yang melaksanakan arahan Habib Rizieq Syihab dengan menyiapkan langkah hukum atas terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, Kejaksaan Agung dan BNPT, yang melarang kegiatan, penggunaan atribut dan menghentikan kegiatan FPI.
Oleh karena itu, dia juga berharap pengadilan – dalam hal ini PTUN - dan Pemerintah harus juga membuktikan dan mengedepankan ketaatan pelaksanaan ketentuan hukum dan konstitusi dalam kasus ini.
Apalagi, Komnas HAM juga telah mengingatkan bahwa pelarangan Ormas harus sesuai Konstitusi, dan penerbitan SKB larangan dan penghentian kegiatan FPI itu dinilai oleh Koalisi Masyarakat Sipil seperti LBH, KontraS, PSHK, LBHPers dan lain-lain sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.
Menurut HNW sapaan akrabnya, langkah hukum yang akan ditempuh oleh FPI itu sejalan dengan konstitusi dan komitmen bangsa ini bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat). Oleh karenanya, setiap tindakan penyelenggara negara juga harus berbasis kebenaran dan keadilan hukum, bukan yang lain.
“Dan, karenanya Pemerintah juga harus imbangi langkah hukum FPI dengan komitmen penegakan hukum dan konstitusi. Kalau dulu FPI tidak dikeluarkan SKT karena belum mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Agama, ternyata Menteri Agama Fachrul Razi yang lalu dilaporkan pada 29 November 2019 telah memberikan rekomendasi perpanjangan SKT untuk FPI, karena berkomitmen kepada Pancasila dan NKRI,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Kamis(31/12).
HNW menyayangkan aturan main dalam kasus penghentian dan pelarangan kegiatan FPI itu, yakni UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang sangat jauh dari prinsip negara hukum, demokrasi dan HAM.
Dalam UU Ormas tersebut, sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas bisa dilakukan tanpa melewati proses peradilan. Ini salah satu ciri negara kekuasaan, dan bukan ciri dasar negara hukum.
“Padahal di UU Ormas sebelumnya (UU No.17/2013), pemberian sanksi harus melewati mekanisme proses peradilan. Pasal 65 UU No.17/2013 menyebutkan bahwa penghentian sementara kegiatan suatu ormas wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Sayangnya, di UU Ormas perubahan (UU N0.16/2017) yang berasal dari Perppu yang diteken oleh Presiden Jokowi, ketentuan itu dihapuskan,” ujarnya.
Menurut HNW, langkah hukum yang akan ditempuh oleh FPI itu sejalan dengan konstitusi dan komitmen bangsa ini bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.
- Di Silaknas ICMI, Muzani: Prabowo Ratusan Kali Ingatkan Bahaya Perpecahan Bagi Bangsa
- Waka MPR Ajak Komunitas Peduli Lingkungan Kolaborasi Atasi Perubahan Iklim
- Ibas: Toleransi, Kasih Sayang, dan Kesehjahteraan Bisa Tangkal Radikalisasi
- Lestari Moerdijat Harap Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Harus Segera Ditindaklanjuti
- Hadiri HUT ke-60 Golkar, Bamsoet Apresiasi Prabowo Dukung Perubahan Sistem Demokrasi
- Lestari Moerdijat: Inklusivitas Harus Mampu Diwujudkan Secara Konsisten