FSGI Temukan Guru Rajin Mengunggah Berita Hoaks di Medsos
jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan, kekerasan dalam bentuk apapun semestinya tidak lagi terjadi di masyarakat, apalagi dunia pendidikan.
Ideologi radikalisme, yang berujung dengan aksi kekerasan berawal dari cara pandang yang tidak menghargai perbedaan.
Merasa bahwa pendapatnya, diri atau kelompoknya yang paling benar dan antipluralitas.
Bibit-bibit radikalisme, lanjutnya, sudah tumbuh sejak dini di sekolah melalui pendidikan.
Pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang.
"Pembelajarannya tidak didesain menghargai perbedaan. Alhasil para siswa dan guru terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan kegamaan dan pandangan politik), walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Model intoleransi pasif inilah yang mulai muncul di dunia pendidikan kita," beber Heru, Minggu (20/5).
Dia melanjutkan, guru terjebak kepada pembelajaran satu arah. Artinya pratik pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered learning).
Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru selalu benar dan siswa bisa salah.
FSGI menemukan bibit radikalisme yang sudah tumbuh sejak dini di sekolah melalui pendidikan.
- FSGI Sebut Anak STM Punya Hak Melakukan Demonstrasi, Jangan Ditangkapi
- Kepala BNPT: RAN PE Masih Perlu Dilanjutkan
- LPOI dan LPOK Ingatkan untuk Mewaspadai Metamorfosa Gerakan Radikalisme dan Terorisme
- FSGI: Guru Honorer Seharusnya Dikontrak Bukan Dipecat
- Pakar Terorisme Sebut Kelompok Radikal Mulai Memakai AI untuk Menyebarkan Ideologi
- Kepala BNPT Imbau Semua Jajaran Tetap Waspada dan Jaga Kondusivitas Jelang Lebaran