Gaji Besar, Penampilan Klimis dan Trendi
Jumat, 28 Mei 2010 – 10:41 WIB
Di Jurusan Aerospace Engineering alias Teknik Dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni Rocket Science. "Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don"t need rocket science to figure it out," katanya lantas terkekeh. Dari 200an mahasiswa se-angkatan, hanya 40 orang yang lulus.
George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.
Ada alasan khusus kenapa dia suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal itu semula ingin jadi pilot. Namun karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya. "Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Paling tidak, memahami teknologi pesawat terbang," katanya.
Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan satu jam di bagian imigrasi. "Saya hanya duduk dan diam saja selama satu jam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris," katanya.
Nama Septinus George Saa meroket pada 2004. Saat usianya 18 tahun, dia menyabet penghargaan Firts Step to Nobel Prize in Physics 2004. Penghargaan
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408