Ganjar, Puan, dan Kebodohan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Ganjar, Puan, dan Kebodohan
Rocky Gerung. Foto: dokumen JPNN.com/Aristo Setiawan

Tidak jarang sebutan dungu Rocky ini menyerempet ke Jokowi. Namun, Rocky berkilah bahwa dia tidak mendungukan Jokowi, tetapi mendungukan kebijakannya.

Politisi Gerindra Fadli Zon tidak memakai istilah dungu atau bodoh untuk menyebut Jokowi. Ia memakai istilah ‘’plonga-plongo’’ sebagai gantinya. Sebutan itu tidak setelak dungu dan bodoh, tetapi konotasinya tetap sama saja dengan dungu dan bodoh.

Fadli Zon juga menyebut Jokowi sebagai ‘’Prabu Kantong Bolong’’ karena dianggap tidak punya stature dan kredensial yang cukup untuk menjadi ratu di sebuah negeri. Dalam tradisi perwayangan ada episode ‘’Petruk Dadi Ratu’’.

Lakon ini menggambarkan Petruk--seorang punakawan yang biasanya menjadi pelayan para ksatria--tiba-tiba ketiban pulung menjadi ratu dengan gelar Prabu Kantong Bolong. Karena tidak punya kompetensi yang cukup sebagai pemimpin, Prabu Kantong Bolong banyak melakukan tindakan dan keputusan bodoh dan konyol.

Baik Rocky maupun Fadli sama-sama membayangkan punya seorang ratu yang ‘’gung binantoro’’ penuh wibawa dengan ‘’prejengan’’ yang pantas sebagai ratu.

Seorang ratu harus punya wawasan tinggi dan bisa berbicara mengenai narasi-narasi politik yang canggih. Tokoh-tokoh semacam itu yang sekarang belum kelihatan di antara nama-nama yang sering muncul di survei capres 2024.

Tidak semua presiden cerdas dan pintar. Logika seorang ilmuwan seperti Rocky dan Fadli, tidak selalu menyambung dengan logika politik. Para politisi bodoh banyak yang menjadi pemimpin, karena kebetulan, karena kecelakaan sejarah, atau karena punya uang.

Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi--yang sudah punya sejarah demokrasi panjang selama 250 tahun--tidak selalu mendapatkan presiden yang cerdas dan pintar.

Di mata sebagian pemilih milenial, Ganjar dianggap bodoh karena belum pernah berbicara narasi-narasi mutakhir.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News