Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku
“Indonesia ini bahasanya saja subsidi. Tapi ketika sampai di desa kami, tidak ada subsidinya. Lagipula kualitas pupuk lebih bagus punya Malaysia dibandingkan kita punya,” beber Gito.
Seloroh dia sambil menyeduh kopi untuk Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group), “Subsidi mahal mungkin dikarenakan infrastruktur yang sulit ditempuh kali ya, hehehe”.
Kepala Desa Nanga Bayan, Runa, membenarkan penuturan Gito. Kala warganya panen, hasil tani tak dijual di negara sendiri.
"Memang kita jual ke Malaysia, karena aksesnya lebih dekat dibanding dijual ke Sintang," tuturnya.
Ia mengatakan, untuk sampai ke Sintang butuh perjalanan lebih kurang 12 jam. Dengan kondisi infrastruktur yang hancur lebur. Untuk ke Sarawak, Malaysia, cuma memakan waktu dua jam.
"Lebih bagus masyarakat ke Malaysia dengan jalan kaki, meski kondisi medannya berbukit," tukas Runa.
Meski demikian, sebagai Kepala Desa Nanga Bayan, dia belum bosan untuk terus melayangkan usulan kepada pemerintah Kecamatan Ketungau Hulu maupun ke pemerintah Kabupaten Sintang terkait peningkatan infrastruktur jalan maupun jembatan.
"Kalau akses jalan dapat ditembus dengan mudah, maka kemungkinan besar masyarakat akan menjual hasil tani mereka di negara sendiri. Kalau kondisinya masih seperti ini, tentunya masyarakat lebih memilih ke Malaysia," terangnya.
Masyarakat yang tinggal di Desa Nanga Bayan, Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sudah lama terpinggirkan.
- Rupiah Hari Ini Makin Ambyar Terpengaruh IHK Amerika
- Sentimen Negatif Trump Bikin Rupiah Hari Ini Ambrol 62 Poin
- Warga Tangerang Kecele Beli iPhone 16 di Malaysia: Dapat Produk Gagal, Repot Urus Pajak
- Efek Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Rupiah Hari Ini Cerah
- Donald Trump Menang, Indonesia Perlu Waspadai Fluktuasi Pasar
- Donald Trump jadi Presiden AS Alamat Bahaya Buat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia