Garuda

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Garuda
Ilustrasi Garuda Indonesia. Foto: Soetomo Samsu/JPNN.com

Setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan pada 1949, maskapai ini kemudian diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Bung Karno kemudian menamai maskapai seserahan ini dengan Garuda.

Di bawah manajemen pemerintah Indonesia, Garuda berkembang bagus. Maskapai ini pernah mendapat julukan sebagai “maskapai terbesar di belahan bumi bagian selatan” pada era 1970-1980-an, karena banyaknya armada yang dimiliki.

Pada era 2000-an, Garuda juga sempat masuk dalam jajaran sepuluh besar maskapai terbaik di dunia versi lembaga survei berpengaruh Skytrax.

Namun, anehnya semua itu bukan berarti Garuda adalah sebuah maskapai yang berhasil dan sehat. Terbukti pada setiap akhir tahun, hampir selalu laporan keuangannya membukukan kerugian.

Ada beberapa tahun laba, tetapi jumlahnya masih kalah jauh dibanding kerugiannya.

Bongkar pasang direksi dan pengelolaan karyawan Garuda pun dilakukan dari dulu hingga kini. Dengan isu yang hampir selalu sama, untuk menyehatkan perusahaan Garuda, maskapai kebanggan Indonesia. Makanya timbul candaan itu, apa sebaiknya Garuda dibalikin saja ke Belanda agar jadi lebih baik.

Soal ledek-meledek adalah hal yang biasa, bahkan di kalangan frequent flyer, para pelanggan terbang, banyak beredar joke-joke dan pelesetan lucu. Perusahaan penerbangan milik Australia QANTAS dipelesetkan menjadi Quick And Nasty Terrible Australian Service (pelayanan Australia yang terburu-buru dan buruk).

Kepanjangan Boeing dipelesetkan menjadi Broken Off Engines In Numerous Gardens (seringkali kejadian mesik rusak).

PT Garuda Indonesia menjadi contoh paling memilukan bagaimana sebuah perusahaan transportasi milik negara dikelola.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News