Gelap Cahaya
Oleh: Dahlan Iskan
Setelah berwudu kami masuk masjid. Berwudu adalah ritual membasuh muka, tangan, dan kaki sebelum salat.
Sambil meraba-raba di kegelapan kami memasuki pintu utama masjid. Pintu besar. Benar-benar gelap.
Di dalam masjid kami menyebar ke segala arah: mencari di mana saklar untuk menghidupkan lampu. Termasuk dua mahasiswa yang Buddha dan Kristen itu. Ikut sibuk.
Mereka pun menyalakan flash di handphone. Lumayan. Masjid ini besar. Semua area di dekat pintu diraba. Tidak ketemu. Saya menuju tempat imam –biasanya ada saklar di situ. Juga tidak ada.
Rupanya ada on-off tersentral di kantor masjid. Kantornya terkunci.
Alwi lari ke bangunan depan. Dia menemui penjaga masjid. Dia merayunya untuk menyalakan lampu sentral. Tidak berhasil.
Petugas itu tidak berani melangkahi prosedur. Dia justru mengatakan mengapa harus menyalakan lampu. Kan, cukup pakai bocoran cahaya dari koridor.
Memang lama-lama terasa tidak gelap. Sebersit cahaya dari gerbang sudah bisa mengusir gelap. Kata "mengusir" itu tidak tepat.
Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui.
- Astaga, Seorang Oknum Guru dan 2 Mahasiswa di Riau Terlibat LGBT, Nih Tampang Mereka
- KND Dorong Mahasiswa & Pelajar jadi Agent of Power Pengikis Stigma Negatif terhadap Penyandang Disabilitas
- Alwi Novi
- Survei Indikator: China Dipersepsikan sebagai Kawan Terdekat Indonesia
- King's College London Resmi Memulai Angkatan Pertama di KEK Singhasari
- Nobar Bandung