Gelap Cahaya

Oleh: Dahlan Iskan

Gelap Cahaya
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Suku Hui itu Islam semua. Masjidnya ramai. Di sekitar masjid penuh dengan resto halal. Enak-enak. Satenya. Huo kuo-nya. Mie dagingnya.

"Hanya kalau Jumat masjid ini ramai. Muslim dari mana-mana datang ke sini," ujar Alwi.

Usai salat magrib kami kumpul lagi di resto ''Bandung''. Resto masakan Indonesia ini sudah punya enam cabang di Xiamen dan Fuzhou.

Setelah makan dan omon-omon, guru asal Surabaya tampil. Dia guru piano di Xiamen.

Tidak ada piano di resto itu. Dia sudah merekam suara piano yang dia mainkan. Itu untuk mengiringi istrinya, asal Heilongjiang, yang akan tampil menyanyi. Dia menyanyikan Bengawan Solo. Lalu Rayuan Pulau Kelapa.

"Sudah bisa berbahasa Indonesia?" tanya saya dalam Mandarin.

"Sedikit-sedikit," katanya. "Mandarin Anda jauh lebih baik dari suami saya," ganti dia menyela.

Saya kira itu caranya merendah. Ternyata begitulah adanya. Sudah 20 tahun punya istri orang Harbin, tinggal di Tiongkok, Mandarinnya guru piano itu masih gaya Suroboyoan.

Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News