Gelap Cahaya
Oleh: Dahlan Iskan
Suku Hui itu Islam semua. Masjidnya ramai. Di sekitar masjid penuh dengan resto halal. Enak-enak. Satenya. Huo kuo-nya. Mie dagingnya.
"Hanya kalau Jumat masjid ini ramai. Muslim dari mana-mana datang ke sini," ujar Alwi.
Usai salat magrib kami kumpul lagi di resto ''Bandung''. Resto masakan Indonesia ini sudah punya enam cabang di Xiamen dan Fuzhou.
Setelah makan dan omon-omon, guru asal Surabaya tampil. Dia guru piano di Xiamen.
Tidak ada piano di resto itu. Dia sudah merekam suara piano yang dia mainkan. Itu untuk mengiringi istrinya, asal Heilongjiang, yang akan tampil menyanyi. Dia menyanyikan Bengawan Solo. Lalu Rayuan Pulau Kelapa.
"Sudah bisa berbahasa Indonesia?" tanya saya dalam Mandarin.
"Sedikit-sedikit," katanya. "Mandarin Anda jauh lebih baik dari suami saya," ganti dia menyela.
Saya kira itu caranya merendah. Ternyata begitulah adanya. Sudah 20 tahun punya istri orang Harbin, tinggal di Tiongkok, Mandarinnya guru piano itu masih gaya Suroboyoan.
Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui.
- Astaga, Seorang Oknum Guru dan 2 Mahasiswa di Riau Terlibat LGBT, Nih Tampang Mereka
- KND Dorong Mahasiswa & Pelajar jadi Agent of Power Pengikis Stigma Negatif terhadap Penyandang Disabilitas
- Alwi Novi
- Survei Indikator: China Dipersepsikan sebagai Kawan Terdekat Indonesia
- King's College London Resmi Memulai Angkatan Pertama di KEK Singhasari
- Nobar Bandung