Gelap Cahaya
Oleh: Dahlan Iskan
Lagi asyik mengentak-entak, ketua Persaudaraan Indonesia "Warung Kopi", Christopher Tungka, teriak ketakutan. Dia khawatir lantai dua ini roboh, apalagi para mahasiswa ikut pula mengentak-entakkan kaki.
Ini memang bangunan tua. Pantas khawatir. Semua bangunan di kawasan ini bangunan tua. Kota tua. Yakni kota tua yang diberdayakan menjadi pusat turisme yang sangat ramai. Tidak boleh ada kendaraan memasuki kawasan ini. Mobil maupun motor.
Acara pun diakhiri dengan lagu Kemesraan. Sudah pukul 21.00. Sebagian dari kami harus kembali ke kota Fuqing.
Saya diantar oleh Gina Dewi dengan mobil BMW-nya. Dia jauh-jauh datang dari Xiamen untuk acara itu: menyetir mobil tiga jam. Lalu nyetir lagi satu jam mengantar saya pulang ke Fuqing.
Gina termasuk 5-i. Usahanya di bidang sarang burung. Sarang burungnya didatangkan dari Indonesia. Lalu dia kemas dengan merek perusahaannya.
Gina asli Surabaya: Petra Kalianyar. Dia kuliah di Quanzhou dekat Xiamen. Di situ bertemu lelaki idaman yang kini jadi suaminya.
Saat turun dari lantai dua resto Bandung saya punya perasaan menyesal.
Saya menuruni tangga kayu dengan perasaan bersalah. Tiba di lantai bawah saya mendongak ke atas. Kalau lantai itu tadi runtuh....(*)
Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui.
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi