Gelar FGD, Para Pakar Menilai KPK Berpotensi Melanggar Hukum di Kasus Hasto

Gelar FGD, Para Pakar Menilai KPK Berpotensi Melanggar Hukum di Kasus Hasto
Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim, Semarang dengan Firlmy Law Firm, Yogyakarta, menggelar Forum Focused Group Discussion (FGD) terhadap permohonan praperadilan Hasto Kristiyanto. Foto: Fathan

Selain itu, hasil FGD para pakar tersebut juga mengkaji tentang status hukum penggunaan alat bukti yang diperoleh berdasarkan dari Sprindik atas nama tersangka lain untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka.

Hasil FGD menyimpulkan suatu penetapan tersangka untuk dikatakan sebagai alat bukti yang sah, maka cara mendapatkan alat bukti tersebut juga harus melalui prosedur yang sah juga.

Dalam kasus Hasto, maka apabila dalam penetapan sebagai tersangka didasarkan pada alat bukti lain yang diperoleh sebelum Sekjen PDIP itu ditetapkan sebagai tersangka yang didasarkan pada Sprindik atas nama tersangka Lain, maka secara mutatis mutandis status alat bukti tersebut menjadi tidak sah pula. Sebagaimana telah termuat dalam pertimbangan Hakim dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.prap/2017/PN.Jkt.sel (Perkara Setya Novanto vs KPK Jilid I).

Tentunya alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka Hasto haruslah alat bukti yang diperoleh melalui pemeriksaan ulangan atau yang ditujukan khusus untuk Perkara Dugaan Tindak Pidana Suap dan Tindak Pidana Perintangan Penyidikan terhadap saksi-saksi maupun ahli termasuk alat bukti surat yang dilakukan penyitaan kembali yang semuanya harus didasarkan pada surat perintah penyidikan Nomor: Sprin.Dik.153/DIK.00/01/12/2024, tertanggal 23 Desember 2024 dan Sprin.Dik/152/DIK.00/01/2024, tertanggal 23 Desember 2024.

Apabila alat bukti diperoleh tanpa dasar Sprindik tersebut atau berdasarkan Spindik tersangka lain maka status penggunaannya menjadi tidak sah pula.

Para pakar juga mengkaji kewenangan pimpinan KPK pascaperubahaan UU KPK No.19 Tahun 2019. Pimpinan KPK itu tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.

Para pakar melihat setelah dihapuskan kewenangan pimpinan KPK sebagai Penyidik sehingga penerbitan sprindik dan SPDP itu menjadi problematik. Sebagai suatu keputusan, sprindik dan SPDP itu harus dibuat sesuai syarat formal dan syarat materiil.

Berdasarkan Peraturan KPK RI No. 04 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan KPK, format sprindik dan SPDP telah ditentukan termasuk siapa yang harus menandatangani yakni pejabat yang berwenang. Menurut ketentuan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, Direktorat Penyidikan itu berada di bawah Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, dan Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi berada di bawah Pimpinan KPK.

Dalam FGD itu dihasilkan beberapa poin kesimpulan terkait kasus Hasto Kristiyanto oleh KPK.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News