Geledah 2 Tempat di Probolinggo, KPK Sita Bukti Kasus Gratifikasi dan TPPU Puput Tantriana

Sementara 18 orang sebagai pemberi suap merupakan ASN Pemkab Probolinggo.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan bahwa pemilihan kepala desa serentak tahap II di wilayah Kabupaten Probolinggo yang awalnya diagendakan pada 27 Desember 2021 mengalami pengunduran jadwal.
Adapun terhitung 9 September 2021 terdapat 252 kepala desa dari 24 kecamatan di Kabupaten Probolinggo yang selesai menjabat.
Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala desa tersebut maka akan diisi oleh penjabat (Pj) kepala desa (kades) yang berasal dari para ASN di Pemkab Probolinggo dan untuk pengusulannya dilakukan melalui camat.
KPK menyebut ada persyaratan khusus di mana usulan nama para pj kades harus mendapatkan persetujuan Hasan yang juga suami Puput yang juga suami Puput dan pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo, dalam bentuk paraf pada nota dinas pengusulan nama sebagai representasi dari Puput dan para calon pj kades juga diwajibkan memberikan dan menyetorkan sejumlah uang.
Adapun tarif untuk menjadi pj kades di Kabupaten Probolinggo sebesar Rp 20 juta per orang ditambah dalam bentuk upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp 5 juta per hektare.
Setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK juga menetapkan Puput dan suaminya sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU dari pengembangan kasus seleksi jabatan tersebut. (antara/jpnn)
KPK menggeledah dua tempat di Kabupaten Probolinggo, Jatim, dan menyita barang bukti kasus gratifikasi dan TPPU Puput Tantriana.
Redaktur & Reporter : Boy
- Respons Kejagung Soal Pengaduan Jampidsus Dinilai Arogan, Tak Sejalan Semangat Presiden
- Anggap Perkara Hasto Bentuk Pesanan, Maqdir Singgung Pemecatan Jokowi dan Keluarga
- Febri Endus Cepatnya Kasus Hasto ke Pengadilan Atensi Khusus yang Tak Wajar, Buktinya?
- Reaksi Hasto setelah Dengar Dakwaan KPK: Ini Daur Ulang demi Kepentingan Politik
- Hasto Kristiyanto: Tanpa Supremasi Hukum, Republik Ini Tak Akan Kokoh
- Sebelum Sidang, Hasto Sebut Kasusnya sebagai Kriminalisasi Politik