Gelombang Pengungsi Rohingya Menuju Aceh Terus Membesar

Gelombang Pengungsi Rohingya Menuju Aceh Terus Membesar
Abdu Rahman pernah menulis buku berjudul 'Rohingya Odyssey' tentang perjalanannya yang diterbitkan di Kanada. (ABC News: Habil Razali)

'Masa depan tampak gelap'

Abdu Rahman lahir tahun 2000 di Maungdaw, negara bagian Arakan, Myanmar. Tengah malam.

Ia mengaku saat berusia 17 tahun, pihak militer datang ke desanya, menangkap warga secara sewenang-wenang dan mengumpulkan semua orang.

"Mereka membunuh warga Rohingya yang tidak bersalah, membakar rumah kami, dan memaksa kami mengungsi ke Bangladesh," katanya.

Saat berada di kamp pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh, awalnya ada fasilitas dan layanan untuk kebutuhan dasar baik dari UNHCR dan organisasi lokal lainnya bersama pemerintah Bangladesh.

Namun, situasi di kamp kian memburuk, termasuk meningkatnya kriminalitas hingga perdagangan manusia.

Abdu mengatakan dirinya merasa "diperdagangkan" dalam perjalanan ke Aceh karena tidak mengetahui risikonya dan "semua orang menjadi korban" seperti dirinya.

"Masa depan tampak gelap di kamp pengungsian. Kami semua, dari kamp yang berbeda, harus melarikan diri ke sini di Aceh, Indonesia," ujarnya.

Chris Lewa, direktur The Arakan Project, yang berfokus pada hak asasi Rohingya, mengatakan masalah lain yang dihadapi warga Rohingya di Cox's Bazar adalah kurangnya akses terhadap makanan, karena "berkurangnya dukungan dari komunitas internasional".

Khairul, istrinya, dan tiga anak-anaknya termasuk dari seribu lebih warga Rohingya yang melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News