George Toisutta, Tragedi Baju Hijau di Lapangan Hijau

George Toisutta, Tragedi Baju Hijau di Lapangan Hijau
George Toisutta, Tragedi Baju Hijau di Lapangan Hijau
Ketika hubungan ekonomi (pengusaha) dan politik (penguasa) makin lengket, sepakbola pun mengalami metamorfosis. Sepakbola, yang menjanjikan massa sangat besar, pun menjadi instrumen politik yang menggelitik.

 

Akibatnya, kini dunia sepakbola kita memasuki zaman “pelangi” yang aneh. Lihat saja, di lapangan hijau yang terjadi bukannya pertarungan antar-kesebelasan atau antar-klub dengan sistem dan strategi bola yang cangih: 4-4-2 vs 5-3-1. Atau gaya catenaccio Italia vs total football Belanda.

 

Sekarang ini di lapangan hijau yang kita saksikan adalah pertarungan warna. Tentu saja yang paling dominan adalah Kuning (Golkar: Nurdin-Nirwan) vs Biru (Demokrat: Andi Mallarangeng-Penguasa). Sedangkan George Toisutta (TNI-baju hijau) dan Arifin Panigoro (merah-PDIP-PDP) hanya pelengkap atau hanya sekadar pion dalam kompetisi yang menggelikan ini.

 

Tentu saja yang paling meradang adalah Toisutta. Karena Jenderal TNI bintang empat yang sedang jadi orang No 1 di TNI-AD ini, bersama Panigoro, tak bisa ikut dalam pertarungan karena diganjar “kartu merah” Komite Pemilihan Ketua PSSI, justru sebelum masuk lapangan pertandingan.

 

SEPAKBOLA bagi bangsa Indonesia memang bukan sekadar olahraga, tapi salah satu alat perjuangan. Makanya, Ir Soeratin Sosrosoegondo dulu (1930) mendesain

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News