Geotermal; Gara-gara Nila Setitik Jangan Rusak Susu Se-Malinda
Dimulai oleh Aceh, Selanjutnya Tinggal Kopi
Senin, 11 April 2011 – 00:51 WIB
Dua hal itulah yang sebenarnya menjadi inti dari persoalan mengapa proyek-proyek geotermal berjalan amat lambat. Kesan bahwa PLN ogah-ogahan membeli listrik dari geotermal memang ada benarnya, tapi juga sengaja dibesar-besarkan untuk menutupi kesulitan-kesulitan dalam memulai proyek itu.
Soal harga hanyalah satu di antara 32 masalah yang harus dinegosiasikan. Tetapi, kesan selama ini hanya harga yang menentukan. Padahal, faktor harga hanyalah satu titik nila. Buktinya, banyak kasus PLN sudah menyetujui harga, tetapi tidak juga bisa segera deal. Geotermal Sarulla di Sumut itu, misalnya. PLN sudah menyetujui harganya hampir setahun yang lalu.
Hingga hari ini, perjanjian jual-beli listriknya belum bisa ditandatangani. Masih ada saja keinginan investor yang diajukan ke pemerintah. Maka, bagi PLN, soal harga listrik geotermal telah menjadi noda yang menimpa citranya. Harga listrik geotermal bagi PLN ibarat "gara-gara nila setitik rusaklah susu se- Malinda".
Tentu tidak mungkin kita mengharapkan lembaga Jerman itu memberikan hibah ke semua pemda yang memiliki potensi geotermal. Bahwa Jerman mau memberikan hibah kepada Aceh, itu dilakukan karena unsur Acehnya. Mungkin pintar-pintarnya gubernur Aceh mencari partner.
Lalu, siapa yang sebaiknya menjadi "Jermannya" untuk semua ladang geotermal se-Indonesia?
AKHIRNYA ketemu juga cara terbaik untuk mempercepat proses dimulainya pembangunan "geotermal. Indonesia begitu kaya dengan geotermal yang bisa
BERITA TERKAIT