Gerakan Non Blok Harus Dihidupkan untuk Mewujudkan Struktur Dunia yang Adil
jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah akademisi dari berbagai negara sedang mengikuti program Bandung-Belgrade-Havana.
Pada acara itu, Indonesia ingin mengajak dunia kembali melihat semangat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok (GNB) mengenai pentingnya membangun tata dunia baru yang lebih adil.
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan hal itulah yang menjadi inti semangat acara Bandung-Belgrade-Havana yang mengundang akademisi dari berbagai negara untuk tapak tilas digelar dari Jakarta hingga Bali.
Tapak tilas itu menyangkut pelaksanaan KAA 1955 yang menghasilkan Dasa Sila Bandung. Menurut Hasto, pihaknya menggunakan momentum KAA pada 1955 yang kemudian menjadi roh gerakan Non-Blok pada 1961.
“Dan Gerakan Non-Blok ini juga satu napas dengan apa yang disampaikan dalam pidato Bung Karno yang berjudul To Build the World Anew pada 30 September 1960,” kata Hasto saat dihubungi, Rabu (9/11).
Menurut Hasto, Gerakan Non-Blok itulah yang menjawab bahwa struktur dunia yang tidak adil dipengaruhi oleh perang dingin antara Barat dan Timur.
"Yang keduanya mengandung benih-benih kolonialisme sebagai suatu hal yang ditentang oleh Indonesia,” tegas Hasto.
Indonesia menentang benih kolonialisme itu karena dalam UUD 1945 mengamanatkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Gerakan Non Blok menjawab bahwa struktur dunia yang tidak adil dipengaruhi oleh perang dingin antara Barat dan Timur.
- Deddy Tidak Membantah Upaya Jokowi Mau Mengobok-Obok PDIP Mengganti Hasto
- Diundang Bahlil ke Perayaan HUT Golkar, Megawati: Tumben!
- Bertemu dengan Felicia eks Kaesang, Hasto Terima Informasi yang Bisa Membakar Energi PDIP
- Anggap Menyampaikan Kebenaran, PDIP Berikan Dukungan Penuh kepada Yulius Setiarto
- PDIP Akan Terus Persoalkan Upaya Pembunuhan Demokrasi
- Sekjen PDIP Minta Polisi Meniru Jenderal Hoegeng, bukan Parcok