Gorbachev pun Mundur di Tahun ke-7
Rabu, 15 Desember 2010 – 09:23 WIB
Makanya, setiap ada pergolakan di kawasan, seperti di Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, dan kini di Jogjakarta, bayangan Gorbachev “si pemicu” bubarnya negara besar, melintas di khatulistiwa, di mata rakyat Indonesia.
Akankah Indonesia mengalami nasib serupa Uni Soviet, Yugoslavia atau Chekoslovakia?
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan mengingat sejumlah “syarat” untuk keruntuhan sebuah negara sudah tampak depan mata: terus menurunnya perekonomian rakyat, lemahnya kepemimpinan, lembaga-lembaga hukum yang kehilangan kepercayaan publik, dan munculnya fanatisme daerah, etnisitas serta agama.
Makanya, bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Allah Azza Wa Jalla karena masih diberkahi persatuan yang nyata. Sebab kebhinekaan bangsa kita tidak diikat oleh kekuatan fisik (militer) sebagaimana negara-negara yang kini sudah berantakkan. Tapi oleh cinta, kebersamaan, senasib sepenanggungan. Pendek kata, dari Meraoke sampai Sabang menyatu dalam konsensus, kesepakatan sosial.
Itulah sebabnya kepemimpinan yang lemah, bahkan saat pemimpin nasional dalam pengawasan pihak asing (Belanda) seperti di masa awal kemerdekaan, tidak serta-merta merangsang runtuhnya persatuan rakyat Indonesia.