Guru Besar di Indonesia: Mendorong Prestise dan Kualitas Akademik

Oleh: Afriansyah Noor

Guru Besar di Indonesia: Mendorong Prestise dan Kualitas Akademik
Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang juga kandidat doktor administrasi publik Universitas Sriwiaya Palembang, Foto: Dokumentasi Humas Kemnaker

jpnn.com - POLEMIK mengenai gelar profesor di Indonesia telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir akibat berbagai kontroversi dan kritik terhadap proses penunjukan serta kualitas profesor di berbagai institusi.

Kontroversi ini telah memicu perdebatan mengenai integritas dan standar komunitas akademik di Indonesia yang berdampak luas pada sektor pendidikan, termasuk kualitas pendidikan dan motivasi akademisi untuk meraih keunggulan di bidangnya.

Meraih gelar profesor bukanlah perkara mudah. Perjalanan panjang dan komitmen tinggi diperlukan untuk memenuhi kualifikasinya.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur jabatan akademik guru besar hanya bisa diisi oleh seorang dosen dengan yang memiliki kualifikasi akademik bergelar Doktor atau Ph.D.

Ketentuan tersebut diatur pula di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Kemudian ada persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi doktor.

Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya pada pasal 72 ayat (5) yang menyebutkan bahwa menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul perguruan tinggi.

Pengangkatan yang dimaksud dalam ayat tersebut diatur lebih lanjut oleh peraturan menteri.

Penanganan serius dan komprehensif terhadap skandal gelar profesor adalah kunci untuk menjaga marwah dan kredibilitas pendidikan Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News