Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis

Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis
PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. Foto: Yusuf Asyari/Jawa Pos

jpnn.com - MENJADI guru di daerah terpencil membutuhkan perjuangan tersendiri. Itu pula yang dirasakan Siti Dwi Arini Putrianti, guru bantu di SDN 006 Sebatik Tengah, dan Reni Sartika, guru SDN 002 Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara.

------------------
Yusuf Asyari ---Jawa Pos
------------------
Siang itu jarum jam menunjuk pukul 11.00 Wita (Waktu Indonesia Tengah). Murid kelas 3 SDN 006 Sebatik Tengah bersiap mengikuti mata pelajaran terakhir. Lelah dan bosan terbaca pada tingkah mereka.

Bocah-bocah itu tampak bersenda gurau dan berlarian di dalam kelas. Teriakan kecil dan canda khas anak-anak saling bersahutan. Hanya beberapa di antara mereka yang duduk manis di kursi berbahan plastik yang dilengkapi meja kayu itu.

Tingkah mereka tidak berhenti meski guru masuk kelas. Para siswa baru tertib setelah salah seorang di antara mereka memimpin salam pembuka. ’’Hari ini kita belajar keterampilan. Kita bikin bunga dengan kertas origami,’’ kata Wiwi, panggilan akrab Siti Dwi Arini Putrianti.

Pelajaran keterampilan tersebut masuk dalam pelajaran seni budaya keterampilan (SBK). Murid pun berteriak girang. Mereka mulai antusias. Tidak lama, sejumlah instruksi diberikan. Para siswa dibagi menjadi empat kelompok. Kertas origami, gunting, dan lem mulai dibagikan.

Setiap kelompok yang terdiri atas enam murid harus saling bantu membuat karya bunga. Tentu, sang guru di depan kelas mencontohkan cara membuatnya. Mulai melipat, menggunting, sampai mengelem kertas tersebut.

’’Ini salah satu mata pelajaran yang diminati. Banyak hal yang bisa dipelajari murid. Kekompakan, ketelitian, dan semangat berkreasi,’’ ujar Wiwi kepada Jawa Pos yang berkunjung ke SDN 006 Sebatik Tengah pekan lalu.

Wiwi merupakan guru bantu dari Sekolah Guru Indonesia (SGI). SGI merupakan program pendidikan di bawah naungan lembaga sosial Dompet Dhuafa. Wiwi juga dituntut menjadi motor penggerak pemberdayaan masyarakat di lingkungan tempatnya mengajar. Dia menjadi guru honorer selama setahun, sejak November 2013 sampai November 2014.

MENJADI guru di daerah terpencil membutuhkan perjuangan tersendiri. Itu pula yang dirasakan Siti Dwi Arini Putrianti, guru bantu di SDN 006 Sebatik

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News