Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis

Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis
PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. Foto: Yusuf Asyari/Jawa Pos

SDN 006 sebenarnya sama dengan sekolah pada umumnya di Indonesia. Secara fisik gedung kelasnya memadai. Semua bangunan sudah berdinding tembok. Ada ruang guru dan perpustakaan. Jumlah guru yang mengajar pun cukup. Meski, di antara total sembilan guru, hanya dua yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil). Sisanya masih tenaga honorer. Bedanya, mereka tinggal di daerah perbatasan.

Tidak banyak sarjana yang mau menjadi guru di sana. Guru honorer umumnya hanya lulusan SMA. Di sisi lain, jauhnya jarak dari Kabupaten Nunukan membuat mereka jarang mendapat pelatihan mengajar. Imbasnya pada metode pengajaran yang terbilang monoton.

’’Yang saya rasakan saat pertama mengajar, anak-anak kurang ada motivasi belajar,’’ ungkap Wiwi.

Motivasi itulah yang berusaha ditanamkan perempuan kelahiran Sungguminasa, 31 Januari 1990, tersebut kepada para siswa. Salah satunya dengan penguatan karakter yang diselipkan dalam metode pembelajaran.

Untuk memotivasi murid, Wiwi membuat beberapa permainan. Salah satunya membikin papan motivasi berbahan kardus. Sebelum memulai pelajaran saat pagi, murid-murid kelas 3–6 harus menyebutkan kalimat motivasi. Kalimat tersebut lantas ditulis di kertas dan ditempelkan di papan motivasi.

Tentu, model kalimatnya bermacam-macam, bergantung kreativitas anak. Jika belum menemukan kalimat motivasi, murid tidak boleh belajar. Murid pun dipaksa berpikir dengan cepat dan kreatif. Salah satu contoh kalimat itu: ’’Saya hari ini belajar untuk mencapai cita-cita.’’

Wiwi juga melakukan pendekatan kepada orang tua siswa. Setiap memberikan les tambahan sore, dia mengajak berdialog beberapa orang tua murid untuk mendorong anak mereka giat belajar. Jika ada waktu luang, Wiwi menyambangi rumah warga untuk sekadar bercengkerama.

’’Anak-anak di sini kalau ditanya cita-cita pasti enggak jauh dari Tawau. Bahkan, ada yang ingin menjadi TKI di Tawau seperti orang tuanya,’’ kata sarjana pendidikan bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Makassar itu.

MENJADI guru di daerah terpencil membutuhkan perjuangan tersendiri. Itu pula yang dirasakan Siti Dwi Arini Putrianti, guru bantu di SDN 006 Sebatik

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News