Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis

Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis
PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. Foto: Yusuf Asyari/Jawa Pos

Jawa Pos sempat menanyakan hal serupa kepada beberapa murid. Putri Natasya, salah seorang siswi, mengaku ingin menjadi polwan. Namun, polwan yang dia maksud ternyata bukan polisi wanita anggota Polri, melainkan polis di Malaysia. Mengapa bukan Indonesia? ’’Tahunya polis seperti di Tawau,’’ ujar siswi kelas 3 itu.

Wiwi merasa para orang tua murid kurang mementingkan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, secara ekonomi, warga di sana bisa dibilang tidak kekurangan. Sekitar 40 persen orang tua siswa merupakan TKI yang bekerja di Tawau, Malaysia. Sisanya adalah petani kelapa sawit atau petani kakao. Karena itu, wajar jika pengaruh Malaysia begitu kental.

Ketergantungan ekonomi terhadap Kota Tawau sangat terasa. Hampir 90 persen pasokan kebutuhan warga didatangkan dari Tawau, sedangkan hasil bumi mereka dikirim ke Tawau. Tidak ada pilihan lain bagi warga di sana. Apalagi akses ke Nunukan lebih jauh daripada ke Tawau. Karena itu, dalam transaksi ekonomi, berlaku mata uang ganda, yakni rupiah dan ringgit.

Sayangnya, kesadaran terhadap pendidikan masih kurang. Padahal, kata Wiwi, mereka punya semangat belajar yang tinggi. ’’Nasionalisme anak di sini baik. Mereka Indonesia sekali. Tetapi, perhatian pemerintah terhadap mereka kurang. Justru kehidupan mereka hampir semua bergantung pada Tawau,’’ ucapnya.

Beberapa murid bahkan memanggil guru perempuan di sana dengan sebutan cikgu, panggilan guru di Malaysia. Bukan soal panggilannya, tetapi budaya Malaysia yang tidak terbendung. Siaran televisi atau radio Malaysia lebih mudah didapatkan warga di sana. Nasionalisme bisa saja tinggal nama jika dibiarkan tanpa langkah memajukan daerah Sebatik agar warga di sana tidak ’’dijajah’’ lagi oleh Malaysia.

Kisah tidak jauh berbeda diungkapkan Reni Sartika yang mengajar di SDN 002 Sebatik. Letaknya sekitar 20 kilometer ke arah barat di Desa Balansiku, Kecamatan Sebatik Induk. Seperti halnya Wiwi, Resa –panggilan Reni Sartika– menjadi bagian dari program Dompet Dhuafa. Dia bertugas di perbatasan Indonesia-Malaysia itu selama setahun hingga November tahun ini.

Menurut dia, mayoritas siswanya adalah anak petani dan TKI. Karena itu, penanaman karakter terhadap anak sangat kurang. Bukan hanya itu. Kendati masih warga Indonesia, kemampuan berbahasa Indonesia mereka sangat minim. Warga setempat terbiasa berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing. Di tempat Resa mengajar, kebanyakan warga bersuku Bugis. Sisanya adalah suku Tidung, Banjar, dan Dayak.

Menurut perempuan kelahiran Batu Sangkar, 9 November 1989, tersebut, SDN 002 Sebatik memiliki perpustakaan. Namun, sangat jarang siswa yang datang ke ruang baca tersebut. Karena itu, ketika pertama tiba di sana, Resa berinisiatif menghidupkan perpustakaan tersebut. Namun, upaya itu terhambat minimnya bacaan berkualitas.

MENJADI guru di daerah terpencil membutuhkan perjuangan tersendiri. Itu pula yang dirasakan Siti Dwi Arini Putrianti, guru bantu di SDN 006 Sebatik

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News