Gus Margiono

Oleh: Dahlan Iskan

Gus Margiono
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya tahu alasan tersembunyinya: agar tidak terus di bawah bayang-bayang saya.

Mungkin juga karena ia mendengar bahwa saya baru saja dipanggil BM Diah, mantan menteri penerangan yang juga pemilik Harian Merdeka.

Pak Diah minta agar saya mengelola Merdeka yang lagi sangat sulit. "Saya percaya dengan manajemen arek Suroboyo iki," kata Pak Diah mencoba mencampurkan Bahasa Jawa.

Waktu itu saya memang minta agar Pak Diah tampil di depan seluruh karyawan dan wartawan Merdeka. Agar beliau sendiri yang menjelaskan mengapa menunjuk saya –dan bukan ke anaknya sendiri.

Pak Diah pun mengumpulkan karyawan di rumah beliau. Di sekitar kolam renang. Dengan gaya pidatonya yang agitatif dan penuh humor. Pak Diah menguraikan alasan mengapa memilih saya.

Margiono pun pindah ke Jakarta. Ia memimpin Harian Merdeka yang hampir mati. Oplahnya, istilahnya, hanya satu becak –saking sedikitnya.

Mesin cetak koran itu juga sudah tua. Sudah sering batuk-batuk.

"Kapan saya dibelikan mesin cetak modern?" tanyanya pada saya.

Margiono terpilih lagi, untuk periode kedua. Setiap tahun Margiono berpidato di depan Presiden –saat Hari Pers Nasional.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News