Habib Bola
Oleh: Dahlan Iskan
Rumah yang dipakai acara adalah rumah kuno. Besar. Pilar-pilar model Romawi terlihat gagah di terasnya. Bagian depannya terdapat tiga pintu besar. Pintu tinggi. Setiap pintu berdaun-pintu empat. Dua membuka ke depan, dua lagi membuka ke dalam.
Ternyata itu rumah Zein Alhadad. Itu rumah peninggalan ayahnya. Atau kakeknya. "Ketika saya lahir rumah ini sudah ada," katanya.
Mamak tinggal di situ sebagai konsekuensi terlahir anak laki-laki tertua. Dia memang punya kakak, tetapi perempuan. Dia harus mewarisi rumah leluhur yang besar itu.
Mamak juga harus mewarisi "harta" lainnya: keulamaan leluhurnya. Rupanya itulah yang membuat Mamak tidak lagi bergiat di sepak bola. Tidak lagi jadi pelatih -padahal itulah keinginannya setelah pensiun sebagai pemain bintang.
Dan itu pula rupanya yang membuat Mamak akhirnya harus bisa pidato dalam bahasa Arab. Padahal dia hanya lulusan SMA di Ampel: SMA Alkhairiyah.
Setelah itu dia tidak ke mana-mana: fokus sebagai pemain sepak bola. Mulai dari Niac Mitra junior sampai menjadi pemain utama di level senior.
Begitu ayahnya meninggal –dan Mamak harus mewarisi semua peninggalan sang ayah– dia mendalami agama lebih keras.
"Dalam hal kealiman, mana yang lebih alim: Anda atau adik Anda itu," tanya saya sambil menunjuk adiknya yang lagi memimpin bacaan Surah Yassin di rangkaian tahlil itu.